UKURAN KEBENARAN
Berfikir merupakan kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar, apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Secara umum, orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran , problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistimologi. Perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran. Yaitu ; kebenaran epistimologis, ontologis dan semantis.
Teori yang menjelaskan kebenaran epistimologis adalah :
- Teori Korespondensi tentang kebenaran.
Dikatakan benar apabila ada kesesuaian antara yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Dengan demikian, kebenaran epistimologis adalah keterkaitan antara subjek dan objek.
Suatu pengertian adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang diselaraskannya, yaitu apabila ia menyatakan apa adanya, kebenaran adalah yang besesuaian dengan fakta.
Dengan demikian, kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif. Yaitu : suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta yang selaras dengan situasi.
Seorang yang bernama K. Roders, seorang penganut realisme kritis Amerika, berpendapat bahwa : keadaan benar ini terletak dalam kesesuaian antara "esensi atau arti yang kita berikan" dengan "esensi yang terdapat didalam objeknya".
Namun, dalam permasalahan sekarang adalah apakah realitas itu objektif atau subjektif ? dalam hal ini ada pandangan realisme epistemologis dan idealisme epistemologis.
Realisme epistemologis berpandang bahwa realitas yang tidak tergantung (independent), yang terlepas dari pemikiran dan kita tidak dapat mengubahnya bila kita memahaminya, itulah sebabnya realisme epistemologis kadangkala disebut objectivisme, dengan kata lain : realisme epistemologis atau objectivisme berpegang teguh kepada kemandirian kenyataan tidak tergantung pada yang diluarnya. Sedangkan idealisme epistimologis berpandang bahwa setiap tindakan mengetahui berakhir didalam suatu ide, yang merupakan suatu peristiwa subjektif.
- Teori Koherensi tentang kebenaran
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan – putusan itu sendiri dengan kata lain kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan yang lainnya yang telah kita ketahui dan akui kebenarannya terlebih dahulu.
Jadi menurut teori ini, putusan yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain, karenanya lahirlah rumusan (truth is consistency) kebenaran adalah konsistensi dan kecocokan.
Mengenai teori konsistensi dapat kita simpulkan : Pertama, kebenaran menurut teori ini ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lain yang sudah lebih dahulu kita ketahui, terima dan akui sebagai benar. Kedua, teori ini dapat dinamakan teori penyaksian tentang kebenaran, karena menurutnya satu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian oleh putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima dan diakui kebenarannya.
- Teori Pragmatisme tentang kebenaran
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, pragma : yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan. Menurutnya benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat.
Ungkapan dari penganut pragmatis :
- Sesuatu itu benar apabila memuaskan keinginan adan tujuan manusia
- Sesuatu itu benar apabila dapat diuji benar dengan eksperimen
- Sesuatu itu benar apabila ia mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada.
Jadi, bagi para penganut pragmatis, batu ujian keberanian ialah kegunaan dapat dikerjakan, akibat atau pengaruhnya yang memuaskan. Menurut pendekatan ini, tidak ada apa yang disebut kebenaran yang tetap atau kebenaran yang mutlak.