Pengambilan Keputusan Secara Musyawarah dalam Manajemen Pendidikan Islam: (Kajian Tematik Al-Qur’an dan Hadist)
Oleh: Afiful Ikhwan*
Pengambilan Keputusan Secara Musyawarah dalam Manajemen Pendidikan Islam:
(Kajian Tematik Al-Qur’an dan Hadist)
A. Pendahuluan
Betapapun terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap pendidikan Islam, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan secara umum, namun hampir semua pihak sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada kontribusinya pendidikan, pendidikanlah yang dapat memberikan kontribusi pada kebudayaan di hari esok.
Dengan demikian, sebagai institusi atau lembaga pendidikan Islam pada prinsipnya memikul amanah “etika masa depan dari sebuah keputusan”. Etika masa depan timbul dan dibentuk oleh kesadaran bahwa setiap anak manusia akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal ini berarti bahwa, di satu pihak, pengambilan keputusan menuntut manusia untuk tidak mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap perbuatan yang dilakukannya sekarang ini.
Sementara itu pihak lain, manusia ditutut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas pengambilan keputusan dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka dikemudian hari, dan kesemuanya itu ditentukan oleh keputusan-keputusan yang di ambil, dalam hal ini kaitannya dengan Mnajamen Pendidikan Islam.
Dalam sepanjang hidupnya manusia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan atau alternatif dan pengambilan keputusan. Hal ini sejalan dengan teori real life choice (pilihan kehidupan yang nyata) yang menyatakan dalam kehidupan sehari-hari manusia melakukan atau membuat pilihan-pilihan di antara sejumlah alternatif. Pilihan-pilihan tersebut biasanya berkaitan dengan alternatif dalam penyelesaian masalah yakni upaya untuk menutup terjadinya kesenjangan antara keadaan saat ini dan keadaan yang diinginkan.
Situasi pengambilan keputusan yang dihadapi seseorang akan mempengaruhi keberhasilan suatu keputusan yang akan dilakukan. Setelah seseorang berada dalam situasi pengambilan keputusan maka selanjutnya dia akan melakukan tindakan untuk mempertimbangkan, menganalisa, melakukan prediksi, dan menjatuhkan pilihan terhadap alternatif yang ada, sebagaimana dalam pembahasan makalah ini adalah Pengambilan Keputusan Secara Musyawarah dalam Manajemen Pendidikan Islam.
Dalam makalah ini, sistematika pemahamannya penulis kategorikan menjadi berbagai macam pembahasan, begitu juga kaitannya pada khazanah-khazanah keilmuan yang telah penulis tentukan sebelum disusun menjadi sebuah makalah. Penjelasannya tidak tergabung langsung di bawah setelah ayat Al-Qur’an ataupun Haditsnya, akan tetapi tetap tidak keluar dari pemahaman penulis terhadap ayat Al-Qur’an dan Hadits kaitannya dengan tema pada makalah ini.
B. Definisi Keputusan
Terdapat beberapa pengertian keputusan yang telah disampaikan oleh para ahli, diantaranya adalah sebagai berikut[1]:
1. Menurut Ralp C. Davis
Keputusan adalah hasil pemecahan masalah yang dihadapinya dengan tegas. Suatu keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap suatu pertanyaan. Keputusan harus menjawab pertanyaan tentang apa yang dibicarakan dalam hubungannya dengan perencanaan. Keputusan dapat pula berupa tindakan terhadap pelaksanaan yang sangat menyimpang dari rencana semula.
2. Menurut Mary Follet
Keputusan adalah suatu hukum atau sebagai hukum situasi.
Apabila semua fakta dari situasi itu dapat diperolehnya dan semua yang terlibat, baik pengawas maupun pelaksana mau mentaati hukumnya atau ketentuannya, maka tidak sama dengan mentaati perintah. Wewenang tinggal dijalankan, tetapi itu merupakan wewengan dari hukum situasi.
3. Menurut James A.F. Stoner
Keputusan adalah pemilihan diantara alternatif-alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu :
a. Ada pilihan dasar logika atau pertimbangan
b. Ada beberapa alternatif yang harus dan dipilih salah satu yang terbaik
c. Ada tujuan yang ingin dicapai, dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut.
4. Menurut Prof.Dr.Prajudi Atmosudirjo,SH.
Keputusan adalah suatu pengakhiran dari proses pemikiran tentang suatu masalah atau problema untuk menjawab pertanyaan apa yang harus diperbuat guna mengatasi masalah tersebut, dengan menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif.
Dari pengertian keputusan di atas, dapat penulis tarik kesimpulan bahwa: keputusan merupakan suatu pemecahan masalah sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu alternatif dari beberapa alternatif.
C. Definisi Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan sangat penting dalam manajemen dan merupakan tugas utama dari seorang pemimpin (manajer). Tidak lepas dari pengertian keputusan diatas, pengambilan keputusan (decision making) diproses oleh pengambilan keputusan (decision maker) yang hasilnya keputusan (decision) itu sendiri. Defenisi-defenisi Pengambilan Keputusan Menurut Beberapa Ahli[2]:
1. George. R. Terry
Pengambilan keputusan dapat didefenisikan sebagai “pemilihan alternatif kelakuan tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada”.
2. Harold Koontz dan Cyril O’Donnel
Pengambilan keputusan adalah pemilihan diantara alternatif-alternatif mengenai sesuatu cara bertindak—adalah inti dari perencanaan. Suatu rencana dapat dikatakan tidak ada, jika tidak ada keputusan suatu sumber yang dapat dipercaya, petunjuk atau reputasi yang telah dibuat.
3. Theo Haiman
Inti dari semua perencanaan adalah pengambilan keputusan, suatu pemilihan cara bertindak. Dalam hubungan ini kita melihat keputusan sebagai suatu cara bertindak yang dipilih oleh manajer sebagai suatu yang paling efektif, berarti penempatan untuk mencapai sasaran dan pemecahan masalah.
4. Drs. H. Malayu S.P Hasibuan
Pengambilan keputusan adalah suatu proses penentuan keputusan yang terbaik dari sejumlah alternative untuk melakukan aktifitas-aktifitas pada masa yang akan datang.
5. Chester I. Barnard
Keputusan adalah perilaku organisasi, berintisari perilaku perorangan dan dalam gambaran proses keputusan ini secara relative dan dapat dikatakan bahwa pengertian tingkah laku organisasi lebih penting dari pada kepentingan perorangan.
Ada beberapa definisi tentang pengambilan keputusan. Dalam hal ini arti pengambilan keputusan sama dengan pembuatan keputusan. Menurut penulis definisi pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku dari dua alternatif atau lebih tindakan pimpinan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam organisasi yang dipimpinnya dengan melalui pemilihan satu diantara alternatif-alternatif yang dimungkinkan. Dan keputusan di dalam manajemen dibagi menjadi dua:
1. Keputusan terprogram atau keputusan terstruktur: keputusan yg berulang-ulang dan rutin, sehingga dapat diprogram. Keputusan terstruktur terjadi dan dilakukan terutama pada manajemen tingkat bawah. Contoh keputusan pemesanan barang.
2. Keputusan tidak terprogram atau tidak terstruktur : keputusan yang tidak terjadi berulang-ulang dan tidak selalu terjadi. Keputusan ini terjadi di manajemen tingkat atas. Informasi untuk pengambilan keputusan tidak terstruktur tidak mudah untuk didapatkan dan tidak mudah tersedia dan biasanya berasal dari lingkungan luar. Pengalaman manajer merupakan hal yang sangat penting didalam pengambilan keputusan tidak terstruktur. Keputusan untuk bergabung dengan perusahaan lain merupakan contoh keputusan tidak terprogram.
D. Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan
Dalam prakteknya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan, yaitu: (1) informasi yang diketahui perihal permasalahan yang dihadapi; (2) tingkat pendidikan; (3) personality; (4) coping, dalam hal ini dapat berupa pengalaman hidup yang terkait dengan permasalahan (proses adaptasi); dan (5) culture[3].
Terdapat aspek-aspek tertentu bersifat internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Adapun aspek internal tersebut antara lain :
a. Pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Biasanya semakin luas pengetahuan seseorang semakin mempermudah pengambilan keputusan.
b. Aspek kepribadian. Aspek kepribadian ini tidak nampak oleh mata tetapi besar peranannya bagi pengambilan keputusan.
Sementara aspek eksternal dalam pengambilan keputusan, antara lain:
a. Kultur: Kultur yang dianut oleh individu bagaikan kerangka bagi perbuatan individu. Hal ini berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan.
b. Orang lain: Orang lain dalam hal ini menunjuk pada bagaimana individu melihat contoh atau cara orang lain (terutama orang dekat ) dalam melakukan pengambilan keputusan. Sedikit banyak perilaku orang lain dalam mengambil keputusan pada gilirannya juga berpengaruh pada perilkau individu dalam mengambil keputusan.[4]
Dengan demikian, seseorang yang telah mengambil keputusan, pada dasarnya dia telah melakukan pemilihan terhadap alternatif-alternatif yang ditawarkan kepadanya. Kendati demikian, hal yang tidak dapat dipungkiri adalah kemungkinan atau pilihan yang tersedia bagi tindakan itu akan dibatasi oleh kondisi dan kemampuan individu yang bersangkuran, lingkungan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan fisik dan aspek psikologis.
Pemimpin/Manajer Pendidikan sebagai problem solver dituntut untuk memiliki kreativitas dalam me-menej masalah dan mengembangkan alternatif penyelesaiannya. Berpikir kreatif untuk memecahkan masalah dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Tahap orientasi masalah, yaitu merumuskan masalah dan mengindentifikasi aspek aspek masalah tersebut. dalam prospeknya, si pemikir mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan masalah yang dipikirkan.
b. Tahap preparasi. Pikiran harus mendapat sebanyak mungkin informasi yang relevan dengan masalah tersebut. Kemudian informasi itu diproses untuk menjawab pertanyaan yang diajukan pada tahap orientasi.
c. Tahap inkubasi. Ketika pemecahan masalah mengalami kebuntuan maka biarkan pikiran beristirahat sebentar. Sementara itu pikiran bawah sadar kita akan bekerja secara otomatis untuk mencari pemecahan masalah.
d. Tahap iluminasi. Proses inkubasi berakhir, karena si pemikir mulai mendapatkan ilham serta serangkaian pengertian (insight) yang dianggap dapat memecahkan masalah.
e. Tahap verifikasi, yaitu melakukan pengujian atas pemecahan masalah tersebut, apabila gagal maka tahapan sebelummnya harus di ulangi lagi.[5]
E. Peran Kepemimpinan dalam Pengambilan Keputusan
Berbicara masalah pengambilan keputusan, tidak bisa lepas dari peran kepemimpinan, manajer atau si pembuat keputusan tersebut, dalam hal ini adalah seorang pemimpin, singkat akan penulis bahas juga dalam makalah ini tentang kepemimpinan dan kaitannya pada pengambilan keputusan.
Kepemimpinan seseorang dalam sebuah organisasi atau sebuah lembaga, sangat besar perannya dalam setiap pengambilan keputusan, sehingga membuat keputusan dan mengambil tanggung jawab terhadap hasilnya adalah salah satu tugas pemimpin, jika seorang pemimpin tidak mampu membuat keputusan, seharusnya dia tidak dapat menjadi pemimpin.
Dilain hal, pengambilan keputusan dalam tinjauan perilaku mencerminkan karakter bagi seorang pemimpin. Oleh sebab itu, untuk mengetahui baik tidaknya keputusan yang diambil bukan hanya dinilai dari konsekwensi yang ditimbulkannya. Melainkan melalui berbagai pertimbangan dalam prosesnya. Kegiatan pengambilan keputusan merupakan salah satu bentuk kepemimpinan, sehingga:
a. Teori keputusan merupakan metodologi untuk menstrukturkan dan menganalisis situasi yang tidak pasti atau beresiko, dalam konteks ini keputusan lebih bersifat perspektif dari pada deskriptif.
b. Pengambilan keputusan adalah proses mental dimana seorang manajer memperoleh dan menggunakan data dengan menanyakan hal lainnya, menggeser jawaban untuk menemukan informasi yang relevan dan menganalisis data; manajer, secara individual dan dalam tim, mengatur dan mengawasi informasi terutama informasi bisnisnya.
c. Pengambilan keputusan adalah proses memilih di antara alternatif-alternatif tindakan untuk mengatasi masalah.[6]
Dalam pelaksanaannya, pengambilan keputusan dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu: proses dan gaya pengambilan keputusan.
1. Proses pengambilan keputusan
Prosesnya dilakukan melalui beberapa tahapan seperti:
a. Identifikasi masalah
b. Mendefinisikan masalah
c. Memformulasikan dan mengembangkan alternative
d. Implementasi keputusan
e. Evaluasi keputusan
2. Gaya pengambilan keputusan
Selain proses pengambilan keputusan, terdapat juga gaya pengambilan keputusan. Gaya adalah lear habit atau kebiasaan yang dipelajari. Gaya pengambilan keputusan merupakan kuadran yang dibatasi oleh dimensi:
a. Cara berpikir, terdiri dari:
a) Logis dan rasional; mengolah informasi secara serial
b) Intuitif dan kreatif; memahami sesuatu secara keseluruhan.
b. Toleransi terhadap ambiguitas
a) Kebutuhan yang tinggi untuk menstruktur informasi dengan cara meminimalkan ambiguitas
b) Kebutuhan yang rendah untuk menstruktur informasi, sehingga dapat memproses banyak pemikiran pada saat yang sama.
Kombinasi dari kedua dimensi diatas menghasilkan gaya pengambilan keputusan seperti:
1. Direktif = toleransi ambiguitas rendah dan mencari rasionalitas. Efisien, mengambil keputusan secara cepat dan berorientasi jangka pendek
2. Analitik = toleransi ambiguitas tinggi dan mencari rasionalitas. Pengambil keputusan yang cermat, mampu menyesuaikan diri dengan situasi baru
3. Konseptual = toleransi ambiguitas tinggi dan intuitif. Berorientasi jangka panjang, seringkali menekan solusi kreatif atas masalah
4. Behavioral = toleransi ambiguitas rendah dan intuitif. Mencoba menghindari konflik dan mengupayakan penerimaan.[7]
Berdasarkan uraian di atas, maka berikut adalah upaya-upaya yang perlu ditempuh seperti:
1. Cerna masalah
Sejalan dengan peran kepemimpinan, maka terdapat perbedaan antara permasalahan tentang tujuan dan metode. Dalam kondisi seperti ini peran pemimpin adalah mengambil inisiatif dalam hubungannya dengan tujuan dan arah daripada metode dan cara.
2. Identifikasi alternatif
Kemampuan untuk memperoleh alternativ yang relevan sebanyak-banyaknya.
3. Tentukan proritas
Memilih diantara banyak alternativ adalah esensi dari kegiatan pengambilan keputusan.
4. Ambil langkah
Upaya pengambilan keputusan tidak berhenti pada tataran pilihan, melainkan berlanjut pada langkah implementasi dan evaluasi guna memberikan umpan balik.[8]
Islam juga mengajarkan dalam memilih dan mempertimbangkan pemimpin (dalam hal ini pemimpin pendidikan), agar keputusan yang lahir benar-benar kredibilitasnya teruji dan produktif yang pada akhirnya dapat mengantarkan pada keberhasilan serta kemajuan pendidikan, seperti halnya Rasulullah saw mempertimbangkan keadaan kaum Quraisy di masa beliau, yaitu kekuatan dan rasa kesetiakawanan kesukuan yang kuat (‘ashabiyyah) pada mereka yang merupakan syarat utama dalam menopang ke-khalifahan atau pemerintahan. Lebih jauh, ia berkata “Jika persyaratan Quraisy ini terbukti hanya untuk menghindari terjadinya perebutan kekuasaan karena kesetiakawanan, kesukuan dan kekuatan yang mereka miliki, dapat kita simpulkan bahwa persyaratan tersebut hanya didasarkan pada kecakapan dan kemampuan menjadi pemimpin.[9]
Untuk itu, persyaratan ini kita kembalikan kepadanya dengan mengabaikan faktor dalam pengertian Quraisy, yaitu kesetiakawanan, kesukuan (‘Ashobiyyah). Atas dasar itu, pemimpin pendidikan hendaklah berasal dari kelompok yang memiliki kesetiakawanan, kesukuan, kepintaran, kemampuan, kredibilitas yang kuat di bandingkan kelompok lain, sehingga dapat menjadi panutan yang lain dan kesatuan pendapat, persatuan dalam pengambilan keputusan dapat terpelihara dan berajalan dengan baik.
F. Prinsip-Prinsip Pengambilan Keputusan Berdasarkan Islam
Prinsip-prinsip yang bisa kita gunakan dan kita timba dari Firman Tuhan untuk menolong kita mengambil keputusan diambil dari kisah Raja Rehabeam, ada beberapa prinsip pengambilan keputusan yang bisa kita petik yaitu:
a. Keputusan yang benar tidak mesti dikaitkan dengan bagaimana orang lain melihat diri kita. Di sini kita melihat Rehabeam ingin menunjukkan kekuasaannya dan keinginannya untuk dipandang berkuasa, hal itu telah membuatnya mengambil keputusan yang salah. Dengan kata lain adakalanya keputusan kita menjadi sangat salah, karena yang memotivasi kita mengambil keputusan itu bukanlah kita mempertimbang-kan keputusan yang benar, namun kita lebih mempedulikan bagaimanakah orang lain melihat kita. Kita ingin agar orang melihat kita sesuai dengan citra yang kita coba proyeksikan kepada orang lain. Yang penting kita memfokuskan mata kita pada permasalahannya.
b. Keputusan yang benar didasari atas masukan dari sumber yang memahami duduk masalahnya. Kadang-kadang kita mempunyai pandangan dalam mengambil keputusan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, saya kira itu tidak tepat, bukan kumpulkan data sebanyak-banyaknya, melainkan kumpulkan data setepat-tepatnya. Tepat dalam pengertian kita mencari sumber yang memang kompeten atau memahami duduk masalahnya, jangan sampai kita kumpulkan terlalu banyak pandangan dari orang-orang yang tidak kompeten.
c. Keputusan yang benar berpijak pada konsep kebajikan yang universal, yaitu harus adil, penuh kasih dan juga harus baik. Jadi dalam pengambilan keputusan kita mesti bertanya aspek etisnya, aspek moralnya, apakah keputusan kita itu baik, apakah juga adil. Kadang-kadang baik untuk kita tetapi tidak baik untuk orang lain. Adil, apakah adil untuk kita dan untuk orang lain dan apakah ada unsur kasihnya, karena kasih adalah isi hati Tuhan yang paling dalam, yang juga harus kita miliki. Tuhan pernah mengajarkan kepada kita suatu perintah yang disebut hukum emas yaitu berbuatlah kepada orang lain sebagaimana kita inginkan orang perbuat kepada kita. Jadi kita bisa gunakan prinsip ini dalam pengambilan keputusan.
d. Keputusan yang benar mesti mempertimbangkan dampak dari keputusan itu. Orang yang bijaksana akan selalu mengingat apa akibat keputusan saya ini terhadap diri saya dan apa akibatnya terhadap orang lain.
e. Keputusan yang benar muncul dari pergumulan dalam do’a. Rehabeam tidak mencari Tuhan. Kita ingat sebelum Salomo mengemban tugasnya sebagai seorang raja, dia berdoa, dia meminta Tuhan memberikan hikmat dan itu yang Tuhan karuniakan. Jadi dalam kita mengambil keputusan jangan lupa untuk bergumul dalam doa, meminta Tuhan memimpin kita dan kita harus yakin setelah kita berdo’a meminta pimpinan Tuhan, mulai detik itu Tuhan akan memimpin kita.
f. Keputusan yang benar tidak selalu tampak dengan jelas. Kita hidup dalam masyarakat yang instan, kita ingin segala sesuatu muncul dengan seketika. Tapi keputusan yang baik sering kali menuntut waktu yang panjang, tidak selalu jelas apa itu keputusan yang baik yang bias kita ambil. Jadi perlu ada waktu untuk mendinginkan kita dan membuktikan motivasi kita yang sebenarnya.
g. Keputusan yang benar tidak menutup kemungkinan muncul dari keputusan yang salah. Jadi adakalanya kita keliru mengambil keputusan yang salah, kita belajar dari kesalahannya apa dan belajar mengenal yang benar itu apa. Nah, justru keputusan yang salah menjadi batu pijakan atau batu loncatan yang membawa kita masuk ke dalam keputusan yang benar. Jadi intinya adalah bersedialah untuk meminta maaf jika menyadari bahwa kita telah membuat keputusan yang salah.
h. Demokrasi
Jika dilihat basis empiriknya, Islam dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari proses pemikiran manusia. Dengan demikian, agama memiliki tata aturannya sendiri. Namun begitu, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam terdapat nilai-nilai demokrasi meliputi: syura, musawah, adallah, amanah, masuliyyah dan hurriyyah.[10]
G. Al-Qur’an dan Hadits
1. Teks Ayat
Sudah menjadi sunnatullah, bahwa dinamika kehidupan manusia selalu dihiasi dengan pententangan ( disitulah pentingnya sebuah keputusan ). Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. Surat Al-Baqarah: 30 dan Asy-Syuura: 38:
a.
ÂŒÎ)ur tA$s% šÂ•/u‘ Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 Â’ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Â’Îû ÇÚö‘F{$# Zpxÿ‹Î=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÂŽÏù `tB ߉šøÿム$pkÂŽÏù à7Ïÿó¡o„ur uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ωôJpt¿2 â¨Ïd‰s)çRur y7s9 ( tA$s% þÂ’ÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès?
b.
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó™$# öNÍkÍh5tÂÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãÂøBr&ur 3“u‘qä© öNæhuZ÷Ât/ $£JÏBur öNßg»uZø%y—u‘ tbqà)ÏÿZãƒ
2. Terjemah Ayat
a. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 30)[11]
b. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. (Q.S. Asy-Syuura: 38)[12]
3. Asbabunnuzul
· Surah Al-Baqarah adalah surah ke-2 dan terpanjang yang seluruhnya diturunkan di Madinah, sehingga digolongkan ke dalam surah Madaniyah. Sebagian besar surah Al Baqarah ini turun dipermulaan tahun Hijriah. Adapun surah Al Baqarah ayat 30 secara khusus tidak memiliki asbabun nuzul.
Isi kandungan Surah Al Baqarah Ayat 30, antara lain sebagai berikut.
a. Manusia berfungsi sebagai si pembuat keputusan dimuka bumi. Ayat ini menunjukkan bahwa yang mengatur segala yang ada di bumi adalah manusia sebagai makhluk Allah yang sempurna dan memiliki potensi, diantaranya hawa nafsu, pendengaran, pengelihatan, hati/perasaan, penciuman, akal pikiran, mulut, tangan, kaki, dll.
b. Fungsi manusia sebagai pembuat keputusan di bumi yakni sebagai berikut.
· Menjadi pemimpin, baik bagi orang lain maupun dirinya sendiri dalam upaya mencari ridha Allah dengan mengabdi dan menyembah hanya kepada-Nya.
· Menyejahterakan dan memakmurkan bumi dengan keputusan manusia. Allah menciptakan alam semesta, baik flora dan fauna untuk makhluk, khususnya manusia. Oleh karena itu, manusia wajib mengelola, merawat, mengambil keputusan dan memanfaatkan hasilnya untuk kesejahteraan seluruh makhluk.
- Upaya antipasi terhadap rintangan pada umat manusia karena di dalam menjalankan fungsi atau tugas manusia salah satunya me-menej pendidikan Islam. Iblis dan setan tidak akan henti-hentinya menggoda manusia agar tersesat. Adapun cara iblis atau setan menggoda manusia adalah dengan masuk ke dalam kalbu manusia sehingga selalu menimbulkan perselisihan, permusuhan, dan perusakan salah satunya menganggu dari sebuah keputusan manajemen pendidikan Islam.[13]
· Surah Asy-Syuura adalah surah ke-42 dalam al-Qur'an. Surah ini terdiri dari 53 ayat dan termasuk surah Makiyyah. Dinamakan Asy-Syura yang berarti Musyawarah diambil dari kata Syuura yang terdapat pada ayat 38 pada surah ini. Dalam ayat tersebut diletakkan salah satu dari dasar-dasar pemerintahan Islam ialah musyawarah. Surah ini kadang kala disebut juga Ha Mim 'Ain Sin Qaf karena surah ini dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah itu.[14]
Ayat 38 ini turun dengan orang-orang Anshar yang disuruh untuk memenuhi ajakan Rasulullah untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta Al-Qur’an, sebagian mereka beriman dan mendirikan Shalat. Maka dari itu, turunlah ayat ini.[15]
4. Kandungan Ayat
a. Surah Al-Baqarah Ayat 30
Sejak dulu manusia sudah diciptakan oleh Allah pada awalnya menjadi umat yang akan menjadi pemimpin di surga. Manusia akan menjadi pemimpin malaikat dan syetan, akibatnya syetanpun cenburu, dan berbuat murka dan tidak patuh terhadap Allah. Seiring berjalannya waktu, Syetanpun berhasil mempengaruhi manusia untuk melanggar aturan dari Allah swt, sehingga manusia dapat hukuman untuk diturunkan didunia.
Para malaikat khawatir, bahwa umat manusia (keturunan Adam) akan membuat kerusakan di bumi. Padahal para malaikat merupakan makhluk yang selalu bertasbih, mensucikan Allah. Ketidaktahuan para malaikat dan kekhawatiran para malaikat itu menjadi hilang setelah mendapatkan penjelasan dari Allah bahwa Allah lebih mengetahui apa yang tidak diketahui oleh para malaikat.[16]
b. Surah Asy-Syuura Ayat 38
Dalam ayat tersebut Allah menyerukan agar umat Islam mengesakan dan mnyembah Allah SWT. Menjalankan shalat fardu lima waktu tepat pada waktunya. Apabila mereka menghadapmasalah maka harus diselesaikan dengan cara musyawarah. Rasulullah SAW sendiri mengajak para sahabatnya agar mereka bermusyawarah dalam segala urusan, selain masalah-masalah hukum yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Persoalan yang pertama kali dimusyawarahkan oleh para sahabat adalah khalifah. Karena nabi Muhammad SAW sendiri tidak menetukan siapa yang harus jadi khalifah setelah beliau wafat. Akhirnya disepakati Abu Bakarlah yang menjadi khalifah.[17]
Kata ( أَمْرÙÙ‡Ùمْ ) amruhum/ urusan mereka menunjukkan bahwa yang mereka musyawarahkan untuk suatu keputusan adalah hal-hal yang berkaitan dengan mereka, serta yang berada dalam wewenang mereka. Karena itu masalah ibadah mahdhah/murni yang sepenuhnya berada dalam wewenang Allah tidaklah termasuk hal-hal yang dapat dimusyawarahkan. Di sisi lain, mereka yang tidak berwenang dalam urusan yang dimaksud, tidaklah perlu terlibat dalam musyawarah itu, kecuali jika di ajak oleh yang berwewenang, karena boleh jadi yang mereka musyawarahkan adalah persoalan rahasia antar mereka. Al-Maraghi mengatakan apabila mereka berkumpul mereka mengadakan musyawarah untuk memeranginya dan membersihkan sehingga tidak ada lagi peperangan dan sebagainya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka bermusyawarah didalam mengambil suatu keputusan untuk mereka ikuti pendapat itu, contohnya dalam peperangan.
5. Tafsir Ayat
a. Tafsir At-Tabari Al-Baqarah: 30
Ayat ini mengingatkan nikmat-nikmat Allah kepada manusia, di antaranya dinobatkannya Adam a.s. sebagai khalifah di bumi. Menurut At-Thabari maksud (Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi) adalah mengangkat Adam a.s. sebagai khalifah di bumi dan mengangkat setelahnya khalifah-khalifah lain silih berganti. Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa yang dimaksud khalifah adalah suksesi kepemimpinan yang silih berganti sejak Adam a.s. hingga keturunannya sampai hari kiamat.
Menurut Ibnu Abbas, Adam a.s. diangkat sebagai khalifah di muka bumi menggantikan bangsa Jin. Sedangkan At-Thabari berpendapat, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas r.a. dan Ibnu Mas’ud r.a., bahwa yang diangkat sebagai khalifah Allah hanyalah Adam a.s. dan mereka yang taat kepada Allah. Mereka bertugas menegakkan hukum Allah ditengah-tengah makhluknya. Adapun sebab para malaikat itu bertanya (Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana). Adalah untuk memperoleh informasi, karena para malaikat itu, menurut riwayat Ibnu Abbas r.a. pernah ditugaskan untuk membasmi Jin penghuni bumi sebelum Adam a.s., yang kebetulan suka berbuat kerusakan dan menumpahkan darah.
Maka timbulah pertanyaan ini karena mereka hendak memperoleh informasi dari Allah, bukan karena para malaikat itu tahu perkara ghaib, tidak pula karena mereka berburuk sangka, atau hendak mengingkari keputusan Allah SWT.[18]
b. Tafsir Ibnu Katsir Al-Baqarah: 30
Setelah menyempurnakanpenciptaan langit dan bumi, Allah SWT kemudian mengamanati manusia menjadi khalifah di muka bumi. Menurut Qurthubi, pernyataan malaikat diatas semata karena mereka tahu karakter manusia yang suka berbuat kerusakan, kezaliman, dan perbuatan dosa sehingga mengakibatkan pertumpahan darah diantara sesama manusia.
Pernyataan malaikat itu bukanlah protes kepada Allah SWT, bukan pula ekspresi iri dan dengki atas kepercayaan Allah SWT kepada manusia. Pernyataan itu semata-mata sekedar bahan pertimbangan dari malaikat yang disampaikan kepada Allah SWT. Pernyataan tersebut lebih bermakna pertanyaan atas keputusan Allah SWT, bukan penolakan. Dengan kata lain, malaikat hendak mengatakan, “Ya Tuhan kami apa hikmah di balik keputusanMu menjadikan manusia sebagai Khalifah di muka bumi ini, sementara mereka suka berbuat kerusakan dan kezaliman?” Malaikat hendak bertanya, kalau pilihan itu disebabkan penghambaan manusia kepada Allah SWT, bukankah malaikat lebih baik dari pada manusia dalam penghambaan? Hal itu karena malaikat selalu membaca tasbih dan tahmid kepada-Nya siang dan malam.
Allah menegaskan kepada malaikat, Dia Maha Mengetahui atas keputusan yang diambilNya. Allah SWT lebih mengetahui keadaan manusia yang telah banyak melakukan kerusakan. Allah SWT menjadikan diantara mereka para Nabi dan Rasul. Selain itu, diantara manusia banyak sekali orang jujur, saleh, zuhud, khusyu’, dekat dengan Allah SWT, dan mengikuti semua petunjuk Rasulullah SAW.[19]
· Tafsir At-Tabari Asy-Syuura: 38
Allah SWT mengingatkan kepada manusia bahwa perhiasan dunia yang Allah berikan, berupa harta dan anak, merupakan kekayaan yang dapat dinikmati sepanjang kehidupan dunia. Namun, itu bukan dari kekayaan akhirat dan tidak dapat memberi manfaat di hari kiamat. Kemudian Allah berfirman apa yang Allah siapkan bagi mereka yang taat dan beriman kepada-Nya di akherat lebih baik dari apa yang diberikan di dunia, dan kenikmatan di akherat adalah kekal. Dan apa yang diberikan di dunia hanya bersifat sementara. Dan hanya kepada Allah-lah orang mukmin bertawakkal menyerahkan segala urusan kepada-Nya.
Kemudia, Allah SWT menjabarkan sifat-sifat orang yang akan mendapatkan kenikmatan itu, yaitu: yang beriman dan yang menjauhi dosa-dosa besar dan juga yang menjauhi perbuatan yang keji (berbuat zina); apabila mereka ditimpa suatu kejahatan sehingga membuat mereka marah, mereka mengampuni orang yang berbuat kejahatan tersebut, dan memaafkan kesalahannya: memenuhi panggilan Allah ketika mereka dipanggil untuk mengikrarkan ketauhidan, ke-esaan-Nya dan membebaskan diri dari segala bentuk peribadatan kepada selain-Nya. Mereka mendirikan shalat yang wajib dengan memenuhi batasan-batasannya dan melakukannya pada waktu-waktunya: apabila mereka menghadapi suatu perkara, mereka bermusyawarah untuk memecahkannya: yaitu mereka menunaikan kewajiban harta mereka, diantaranya dengan menunaikan zakat, infak kepada orang yang berhak menerimanya.[20]
· Tafsir Ibnu Kastir Asy-Syuura: 38
Maksud firman Allah, (Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan), yaitu mereka yang mengikuti Rasul-Nya dan mentaati perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. (Dan melaksanakan shalat), merupakan ibadah teragung kepada Allah SWT. (Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka) maksudnya mereka tidak mau memutuskan suatu perkara atau mengambil suatu keputusan, kecuali mereka musyawarahkan terlebih dahulu.musyawarah ini membantu mereka memutuskan perkara-perkara seperti perang dan lainnya.[21]
· Tafsir Muyassar Asy-Syuura: 38
Disyari’atkan kepada manusia untuk saling bermusyawarah mengenai keputusan mereka tanpa mempermalukan salah seorang di antara mereka dengan pendapatnya di hadapan saudara-saudaranya yang beriman. Mereka menjalin hubungan dengan Allah melalui shalat dan menjalin hubungan dengan kaum Muslimin melalui musyawarah dan nasihat.[22]
6. Hadist
a.
عَنْ مَيْمÙوْن٠بÙنْ مَهْرَان٠قَالَ: كَانَ أَبÙوْ بَكْر٠إÙذَا ÙˆÙرÙدَ عَلَيْه٠الْخÙصْم٠نَظَرَ ÙÙÙ‰ ÙƒÙتَاب٠اللهÙØŒ ÙÙŽØ¥ÙÙ†ÙŽÙ‘ وَجَدَ ÙÙيْه٠مَا يَقْضÙÙ‰ بÙه٠بَيْنَهÙمْ قَضَى بÙÙ‡ÙØŒ ÙˆÙŽØ¥Ùنْ لمَ ْيَكÙنْ ÙÙÙŠ الْكÙتَاب٠وَعَلÙÙ…ÙŽ Ù…Ùنْ رَسÙوْل٠الله٠صَلَّى الله Ùعَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙÙÙ‰ Ø°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ الأَمْر٠سÙنَّة٠قَضَى بÙÙ‡Ù. ÙÙŽØ¥Ùنْ أَعْيَاه٠خَرَجَ Ùَسَأَلَ الْمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ، وَقَالَ: أَتَانÙÙŠ كَذَا وَكَذَا، Ùَهَلْ عَلÙمْتÙمْ Ø£ÙŽÙ†ÙŽÙ‘ رَسÙوْل٠الله٠صَلَّى الله Ùعَلَيْه٠وَسَلَّمَ قَضَى ÙÙÙŠ Ø°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ بÙقَضَاءÙØŸ ÙَرÙبَّمَا اÙجْتَمَعَ Ø¥Ùلَيْه٠النَّÙَرَ ÙƒÙÙ„ÙّهÙمْ يَذْكÙر٠مÙنْ رَسÙوْل٠الله٠صَلَّى الله Ùعَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙÙيْه٠قَضَاءًا، ÙÙŽÙŠÙŽÙ‚Ùوْل٠أَبÙوْ بَكْر٠اَلْØَمْد٠لله٠الَّذÙÙ‰ جَعَلَ ÙÙيْنَا مَنْ ÙŠÙŽØÙ’Ùَظ٠عَنْ نَبÙÙŠÙّنَا صَلَّى الله Ùعَلَيْه٠وَسَلَّمَ. ÙÙŽØ¥Ùنْ أَعْيَاه٠أَنْ يَجÙدَ ÙÙيْه٠سÙنَّةٌ Ù…Ùنْ رَسÙوْل٠الله٠صَلَّى الله Ùعَلَيْه٠وَسَلَّمَ جَمَعَ رَؤÙوْس٠النَّاسَ ÙˆÙŽØ®ÙيَارÙÙ‡Ùمْ ÙَاسْتَشَارÙÙ‡Ùمْ، ÙÙŽØ¥Ùذَا اجْتَمَعَ رَأْيÙÙ‡Ùمْ عَلَى أَمْر٠قَضَى بÙÙ‡Ù. ÙˆÙŽÙƒÙŽØ°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ Ùَعَلَ عÙمَر٠ابْن٠الخَطَّابْ Ù…Ùنْ بَعْدÙÙ‡Ù. )رَوَاه٠الدَّارÙÙ…ÙÙ‰ وَالْبَيْهَقÙÙ‰ وَصَØÙŽÙ‘Ø٠الْØَاÙÙظ٠إÙسْنَادÙÙ‡Ù ÙÙÙ‰ الÙَتْØÙ(
Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan: “Dahulu Abu Bakar (As Shiddiq) bila datang kepadanya suatu permasalahan (persengketaan), maka pertama yang ia lakukan ialah membaca Al Qur’an (mencari dalam kitabullah), bila ia mendapatkan padanya ayat yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia akan memutuskan berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak mendapatkannya di Al Qur’an, akan tetapi ia mengetahui sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia akan memutuskannya berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada kaum muslimin, dan berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya telah datang kepadaku permasalahan demikian dan demikian, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan suatu keputusan?’ Kadang kala ada beberapa sahabat yang semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga Abu bakar berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di antara kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Akan tetapi bila ia tidak mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia mengumpulkan para pemuka dan orang-orang yang berilmu dari masyarakat, lalu ia bermusyawarah dengan mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat (keputusan), maka ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatthab sepeninggal beliau.” (Riwayat Ad Darimi No.161 dan Al Baihaqi, dan Al Hafiz Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih)[23]
b.
7. Øَدَّثَنَا ØÙسَيْن٠بْن٠عَلÙÙŠÙÙ‘ عَنْ زَائÙدَةَ عَنْ سÙمَاك٠عَنْ ØÙŽÙ†ÙŽØ´Ù
Øَدَّثَنَا ØÙسَيْن٠بْن٠عَلÙÙŠÙÙ‘ عَنْ زَائÙدَةَ عَنْ سÙمَاك٠عَنْ Øَنَش٠عَنْ عَلÙÙŠÙÙ‘ رَضÙÙŠÙŽ اللَّه٠عَنْه٠قاَلَ: قاَلَ رَسÙوْل٠الله٠ص.Ù… (اÙذَا تَقَاضَى اÙلَيْكَ رَجÙلاَن٠Ùَلاَ تَقْض٠لÙلْاَوَّل٠Øَتَّى تَسْمَعَ كَلاَمَ الآخَرÙ, ÙَسَوْÙÙŽ تَدْرÙيْ كَيْÙÙŽ تَقْضÙيْ) قَالَ عَلÙيٌّ: Ùَمَا زÙلْت٠قَاضÙيًا بَعْدÙ. (رَوَاه٠اَØْمَد٠وَاَبÙوْ دَاوÙدَ وَالتÙّرْمÙØ°ÙÙŠÙÙ‘ ÙˆÙŽØَسَّنَهÙ, وَقَوَّاه٠ابْن٠الْمَدْيÙÙÙ†ÙÙŠÙÙ‘ وَصَØÙŽÙ‘Øَه٠ابْن٠ØÙبَّانَ)
Telah menceritakan kepada kami Hushain bin Ali dari Zai`dah dari Simak dari Hanasy dari Ali Radhiallah 'anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw: “Apabila dua orang minta keputusan kepadamu, maka janganlah engkau menghukum bagi yang pertama sebelum engkau mendengar perkataan orang yang kedua. Jika demikian engkau akan mengetahui bagaimana engkau mesti menghukum”. ‘Ali berkata : Maka tetap saya jadi hakim (yang layak) sesudah itu”. (H.R. Ahmad No.1148, Abu Dawud dan Tirmidzi dan Ia hasankan-dia, dan dikuatkan-dia oleh Ibnul-Madini dan dishahkan-dia oleh Ibnu Hibban)[24]
7.Sanad Perawi Hadist
a.
Abdullah bin 'Utsman bin 'Amir bin 'Amru bin Ka'ab Menurut ulama Ibnu Hajar Al Atsqalani: Sahabat
|
Rawi Terputus (kalangan tabi’ut tabi’in)
|
Ja'far bin Burqan (kalangan : tabi’ tabi’in tua, masa hidup: Jazirah, W:150H, buruk hafalannya) Menurut ulama:
|
Zuhair bin Mu'awiyah bin Hudaij (Kalangan : Tabi'ut Tabi'in tua, masa hidup: Kufah, W: 173H, tsiqah hafiz) Menurut ulama:
|
Maimun bin Mihran (kalangan : tabi’in biasa, masa hidup: Jazirah, W:117H, buruk hafalannya) Menurut ulama:
|
Muhammad bin Ash Shalti bin Al Hajjaj (Kalangan : Tabi'ul Atba' tua, masa hidup : Kufah, W: 218H, adil dan kuat hafalanya) Menurut ulama:
|
Zuhair bin Mu'awiyah bin Hudaij (Kalangan : Tabi'ut Tabi'in tua, masa hidup: Kufah, W: 173H, tsiqah hafiz) Menurut ulama:
|
Muhammad bin Ash Shalti bin Al Hajjaj (Kalangan : Tabi'ul Atba' tua, masa hidup : Kufah, W: 218H, adil dan kuat hafalanya) Menurut ulama:
|
- Hadist ini berdasarkan penyandarannya mauquf, yaitu: perkataan, perbuatan atau taqrir yang disandarkan kepada seorang sahabat.
- Hadist berdasarkan gugurnya sanad munqothi’, yaitu: hadits/berita yang di tengah sanadnya gugur/terputus seorang rawi atau beberapa rawi, tetapi tidak berturut-turut.
- Hadist berdasarkan banyaknya jalan Gharib, yaitu: hadits yang diriwayatkan hanya dengan satu sanad.[25]
b.
Simak bin Harb bin Aus (Kalangan : Tabi'in biasa W:123H, buruk hafalanya) Menurut ulama:
|
Za'idah bin Qudamah (Kalangan: Tabi'ut Tabi'in tua, masa hidup : Kufah , W:161H, Tsiqah hafiz) Menurut ulama:
|
Hanasy bin Al Mu'tamir (Kalangan: Tabi'in pertengahan, masa hidup : Kufah, buruk hafalanya) Menurut ulama:
|
Al Husain bin 'Ali bin Al Walid (Kalangan: Tabi'ut Tabi'in biasa, masa hidup : Kufah, W: 203H, Tsiqah ‘Adil) Menurut Ulama:
|
Ali bin Abi Thalib bin 'Abdu Al Muthallib bin Hasyim bin 'Abdi Manaf (Kalangan : Shahabat, masa hidup : Kufah, W: 40H)
|
- Hadist ini berdasarkan penyandarannya: Marfu' ialah sabda atau perbuatan, taqrir atau sifat yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
- Hadist berdasarkan banyaknya jalan: Gharib, yaitu: hadits yang diriwayatkan hanya dengan satu sanad.[26]
8. Khazanah Sosial Islamiah
Manusia adalah para pelaku yang menciptakan sejarah. Gerak sejarah adalah gerak menuju suatu tujuan. Tujuan tersebut berada dihadapan manusia, berada di “masa depan”. Sedangkan masa depan yang bertujuan harus tergambar dalam benak manusia. Dengan demikian, benak manusia merupakan langkah pertama dari gerak sejarah atau dengan kata lain “dari terjadinya perubahan”,[27] dimulai dari sebuah keputusan yang terkonsep secara matang, yang ditentukan sejak awal secara musyawarah.
Al-Qur’an tidak mejelaskan bagaimana bentuk Syûrâ yang dianjurkannya. Ini untuk memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat menyusun bentuk Syûrâ (Musyawarah/Pengambilan suatu keputusan) yang mereka inginkan sesuai dengan perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing. Perlu diingat bahwa ayat ini pada periode dimana belum lagi terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik, atau dengan kata lain sebelum terbentuknya negara Madinah di bawah pimpinan Rasul SAW. Turunnya ayat yang menguraikan Syûrâ pada periode Mekkah, menunjukkan bahwa musyawarah adalah anjuran al-Qur’an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan petunjuk Allah di dalamnya. Pengambilan keputusan, mengandung banyak sekali manfaatnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Melalui musyawarah untuk mengambil suatu keputusan, dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan, dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum.
2. Kemampuan akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan berfikirnya pun berbeda-beda. Sebab, kemungkinan ada diantara mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, para pembesar sekalipun.
3. Semua pendapat/keputusan didalam musyawarah diuji kemampuannya. Setelah itu, dipilihlah pendapat/keputusan yang lebih baik.
4. Di dalam musyawarah untuk mengambil suatu keputusan, akan tampak bersatunya hati untuk mensukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati.
Telah diriwayatkan dalam Al-Hasan r.a., bahwa Allah swt. sebenarnya telah mengetahui bahwa Nabi saw. sendiri tidak membutuhkan mereka (para sahabat, dalam masalah ini). Tetapi, beliau bermaksud membuat suatu sunnah untuk orang-orang sesudah beliau.[28] Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau pernah bersabda:
مَا تÙشَاوÙر٠قَوْم٠قط Ø¥Ùلا Ù‡Ùدْوًا Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ رَشَدَ أَمْرÙÙ‡Ùمْ
“Tidak satu kaum-pun yang selalu melakukan musyawarah melainkan akan ditunjukkan jalan paling benar dalam perkara mereka.”[29]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., “Aku belum pernah melihat seseorang melakukan musyawarah selain Nabi saw.”
ÙÙŽØ¥Ùذَا عَزَمْتَ Ùَتَوَكَّلْ عَلَى اللهÙ
“Apabila hatimu telah bulat dalam melakukan sesuatu, setelah hal itu dimusyawarahkan, serta dipertanggung jawabkan kebenarannya, maka bertawakkallah kepada Allah.”
Serahkanlah sesuatu kepada-Nya, setelah mempersiapkan diri dan memiliki sarana untuk meniti sebab-sebab yang telah dijadikan Allah swt. untuk bisa mencapainya, didalam hadits ini, terkandung isyarat yang menunjukkan wajibnya melaksanakan tekat apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi dan diantaranya melalui musyawarah dalam mengambil suatu keputusan.
Rahasia yang terkandung dalam hal ini adalah, bahwa meralat hal-hal yang sudah diputuskan merupakan kelemahan jiwa seseorang. Juga sebagai kelemahan di dalam tabiatnya yang menjadikan yang bersangkutan itu tidak bisa dipercayai lagi, perkataan maupun perbuatannya. Terlebih lagi, jika ia seorang pemimpin pemerintahan, pemimpin organisasi pendidikan dan atau panglima perang.
Oleh sebab itu, Nabi saw. tidak mendengarkan pendapat orang yang meralat pendapat/keputusan pertamanya, sewaktu beliau sedang bermusyawarah mengenai perang Uhud. Pendapat/keputusan itu mengatakan, bahwa kaum Muslimin harus keluar ke Uhud, begitu mereka telah mengenakan baju besi. Beliau berpandangan, bahwa sesudah bulat keputusan suatu musyawarah, maka tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan, jadi tidak boleh diralat lagi.
Dengan demikian, berarti Nabi saw mengajari mereka, bahwa dalam setiap pekerjaan ada waktunya masing-masing yang terbatas. Dan waktu bermusyawarah itu, apabila talah selesai, tinggalah tahap pengamalannya. Seorang manajer (pemimpin), apabila telah bersiap melaksanakan suatu pekerjaan sebagai realisasi dari hasil musyawarah dan lahir sebuah keputusan, maka tidak boleh ia mencabut keputusan atau tekadnya, sekalipun ia melihat adanya kesalahan pendapat dari orang-orang yang ikut bermusyawarah, seperti yang terjadi dalam perang Uhud.
Lain halnya jika suatu keputusan belum ditetapkan walaupun sudah disepakati (ketok palu) oleh seorang pemimpin organisasi dan masih ada pendapat, usul, masukan dan tawaran lain dalam musyawarahnya (sebuah keputusan yang hampir final), pemimpin tidak berhak memutuskan secara sepihak dan masih ada hak bagi orang lain atau anggota musyawarah untuk berpendapat. Tidak ada dasar untuk menuntut orang lain yang mempertahankan diri.[30]
Pada surat Ali ‘Imran ayat 159 dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw, agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, yang akan dijelaskan lebih jauh, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap Muslim, khususnya kepada setiap pemimpin/manajer, agar bermusyawarah dalam mengambil suatu keputusan dengan anggotanya atau bawahannya. Juga dalam ayat itu dijelaskan sikap apa yang harus dilakukan ketika mengambil keputusan, yaitu:
- Sikap lemah lembut
Seorang yang melakukan pengambilan keputusan, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah atau bawahan akan pergi.
…وَلَوْ ÙƒÙنْتَ Ùَظًّا غَلÙيظَ الْقَلْب٠لانْÙَضÙّوا Ù…Ùنْ ØَوْلÙÙƒÙŽ… (ال عمران : ١٥٩)
“Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras[31], niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)[32]
- Keputusan memberi dan membuka lembaran baru bagi anggota musyawarah.
- Keputusan melahirkan suasana baru yang lebih sesuai dengan sikon.
- Keputusan untuk kemaslahatan orang banyak.
9. Khazanah Aplikasi dalam Peradaban Islam
Pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam perang badar, banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulullah saw, mengadakan musyawarah dengan Abu bakar siddiq dan Umar bin khatab agar melahirkan sebuah keputusan yang baik. Rasulullah saw meminta pendapat Abu bakar tentang tawanan perang tersebut. Abu bakar memberikan pendapatnya bahwa tawanan perang itu sebaiknya di kembalikan kepada keluarganya dengan membayar tebusan. Hal man sebagai bukti bahwa Islam itu lunak. Kepada Umar bin khatab juga diminta pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu dibunub saja. Yang diperintah membunuh adalah keluarganya. Hal mana dimaksudkan agar di belakang hari mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci Islam. Sebab bagaimana Islam perlu memperlihatkan kekuatan di mata mereka.
Dari dua pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah saw sangat kesulitan untuk mengambil keputusan. Akhir Allah swt menurunkan surat Ali ‘Imran ayat ke-159 yang menegaskan agar Rasulullah berbuat lemah lembut. Kalau berkeras hati, mereka tentu tidak akan menarik simpati sehingga mereka akan lari dari agama Islam. Ayat ini juga memberi peringatan kepada Umar bin khatab, apabila permusyawarahan pendapat hendaklah diterima dan bertawakal kepada Allah swt. (H.R. Kalabi dari Abi shalih dari Ibnu abbas).
Hal itu mengingat, bahwa didalam musyawarah, silang pendapat selalu terbuka, apalagi jika orang-orang yang terlibat terdiri dari banyak orang. Oleh sebab itulah, Allah memerintah Nabi agar menetapkan peraturan itu, dan mempraktekkannya dengan cara yang baik. Nabi saw manakala bermusyawarah dengan para sahabatnya senantiasa bersikap tenang dan hati-hati. Beliau memperhatikan setiap pendapat, kemudian mentarjihkan suatu pendapat dengan pendapat lain yang lebih banyak maslahatnya dan faedahnya bagi kepentingan kamu Muslimin, dengan segala kemampuan yang ada.
Sebab, jamaah itu jauh kemungkinan dari kesalahan dibandingkan pendapat perseorangan dalam berbagai banyak kondisi. Bahaya yang timbul sebagai akibat dari penyerahan masalah umat terhadap pendapat perorangan, bagaimanapun kebenaran pendapat itu, akibatnya akan lebih berbahaya dibandingkan menyerahkan urusan mereka kepada pendapat umum.
Memang Nabi saw. selalu berpegang pada musyawarah selama hidupnya dalam menghadapi semua persoalan. Beliau selalu bermusyawarah dengan mayoritas kaum Muslimin, yang dalam hal ini beliau khususkan dengan kalangan ahlurru’yi dan kedudukan dalam menghadapi perkara-perkara yang apabila tersiar akan membahayakan umatnya.
Demikian beliau melakukan musyawarah pada waktu pecah perang Badar, setelah diketahui bahwa orang-orang Quraisy telah keluar dari Mekkah untuk berperang. Nabi, pada waktu itu tidak menetapkan suatu keputusan sebelum kaum Muhajirin dan Anshar menjelaskan isi persetujuan mereka. Juga musyawarah yang pernah beliau lakukan sewaktu menghadapi perang Uhud.
Nabi saw. selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam menghadapi masalah-masalah penting untuk mengambil suatu keputusan, selagi tidak ada wahyu mengenai hal itu. Sebab, jika ternyata jika Allah menurunkan wahyu, wajiblah Rasulullah melaksanakan perintah Allah yang terkandung dalam wahyu itu. Nabi saw. tidak mencanangkan kaidah-kaidah dalam bermusyawarah. Karena bentuk musyawah itu berbeda-beda sesuai denga sikon masyarakat, serta sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Sebab, seandainya Nabi mencanangkan kaidah-kaidah musyawarah, maka pasti hal itu akan diambil sebagai Dien oleh kaum Muslimin, dan mereka berupaya untuk mengamalkannya pada segala zaman dan tempat.
Oleh karena itulah, ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, para sahabat mengatakan bahwa Rasulullah saw sendiri rela sahabat Abu Bakar menjadi pemimpin agama kami, yaitu tatkala beliau sakit beliau sakit dan memerintahkan Abu Bakar mengimani shalat. Lalu mengapa kita tidak rela padanya dalam urusan duniawi kita, itu alasan umat sepeninggal Rasul saw dalam mengambil sebuah keputusan untuk menggantikan kursi kepememimpinan umat Islam.[33]
Dan yang lebih tinggi lagi tingkatan waktu lahirnya sebuah peradaban yang diceritakan dalam Islam adalah lahirnya “keputusan” Allah SWT yang akan menciptakan khalifah di muka bumi, dan sebelum keputusan itu dilaksanakan terjadi dialog antara Allah SWT dengan malaikat-Nya, akan tetapi penafsiran didalam Tafsir Al-Maraghi surat Al-Baqarah ayat 30, menegaskan bukan terjadi musyawarah antara Tuhan dan malaikat dalam pengambilan keputusan; bahwasannya Allah SWT akan menciptakan khalifah di muka bumi, sebab itu mustahil sekali seandainya Sang-Pencipta bermusyawarah (minta pendapat) dengan makhluk ciptaan-Nya, diterangkan bahwa disana Tuhan menjelaskan secara detail sebab Tuhan akan menciptakan khalifah di muka bumi.[34]
10. Khazanah dalam Manajemen Pendidikan Islam
Adakalanya suatu keputusan dituntut untuk segera diambil oleh pemimpin. Tuntutan kecepatan ini biasanya terkait dengan keadaan yang membutuhkan penyelesaian mendesak, semakin cepat semakin baik. Dalam hal ini, pemimpin dihadapkan pada tiga kemungkinan, yaitu keputusan dapat diambil dengan cepat tetapi kurang sempurna, keputusan yang diambil relatif sempurna tetapi terlambat, dan keputusan yang dapat diambil dengan cepat dan relatif sempurna. Diantara ketiganya itu keputusan yang cepatdan relatif sempurna tentu menjadi pilihan, tetapi sayangnya keputusan semacam ini jarang terjadi, realita menunjukkan bahwa yang sering terjadi justru keputusan yang pertama atau kedua.[35]
Diantara dua macam keputusan itu, Madhi memilih model keputusan yang pertama, dia mengatakan bahwa keputusan yang tegas tetapi kurang sempurna dan ditindak lanjuti dengan baik, lebih utama dari pada suatu keputusan yang ideal dan cermat tapi terlambat. Ketegasan menjadi penting agar permasalahan yang dihadapi tidak mengambang tanpa tentu arahnya, ketegasan dalam mengambil keputusan mampu meredam kebimbangan dan meujudkan kepastian sikap yang harus dijalani. Misalnya, apakah kepala Madrasah harus menghukum siswa yang melakukan pelanggaran atau membebaskannya. Kepastian keputusan itu harus segera diwujudkan dengan memperhatikan faktor apa yang mempengaruhi pengambilan keputusan seperti bahasan poin diatas.
Adapun para pelaku pengambil keputusan dalam sebuah organisasi pendidikan dan mereka inilah yang mewarnai keputusan yang diambil oleh pemimpin organisasi pendidikan. Orang yang paling layak diajak bekerjasama dalam pembuatan keputusan pada tingkat organisasi adalah kepala sekolah, sebaliknya bagi kepala sekolah orang yang paling layak diajak bekerja sama dalam pembuatan keputusan pada tingkat organisasi adalah guru, atau lebih luas lagi anggota komite sekolah. Intinya dalam proses pengambilan keputusan sebaiknya jangan dilakukan sendiri, tetapi harus melibatkan banyak pihak terkait agar dapat memberikan berbagai pandangan dan pertimbangan sehingga menghasilkan keputusan yang jernih, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan pada atasan maupun publik. Terlebih lagi era saat ini merupakan suatu era yang menuntut adanya transparansi dan partisipasi berbagai pihak.
Demikianlah hal yang perlu diperhatikan oleh pemimpin lembaga pendidikan Islam dalam menjalankan roda organisasi, agar keputusan yang diambil benar-benar produktif dan pada akhirnya dapat mengantarkan pada keberhasilan serta kemajuan pendidikan yang dipimpin.[36]
PENUTUP
Kesimpulan
1. Keputusan merupakan suatu pemecahan masalah sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu alternatif dari beberapa alternatif.
2. Pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku dari dua alternatif atau lebih tindakan pimpinan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam organisasi yang dipimpinnya dengan melalui pemilihan satu diantara alternatif-alternatif yang dimungkinkan.
3. Faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan: Informasi yang diketahui perihal permasalahan yang dihadapi, tingkat pendidikan, personality, proses adaptasi, dan cultur.
4. Peran kepemimpinan dalam pengambilan keputusan: menganalisis situasi yang tidak pasti atau beresiko; identifikasi masalah, memformulasikan alternatif, evaluasi keputusan, memperoleh dan menggunakan data dengan menanyakan hal lainnya; rasional, kreatif, memilih di antara alternatif-alternatif tindakan; cerna masalah, identifikasi alternatif, tentukan prioritas dan ambil langkah.
5. Prinsip-prinsip pengambilan keputusan berdasarkan Islam: diluar kepentingan pribadi, dari pendapat ahlinya, adil, lihat kausalitasnya, bersandarkan pada Al-Qur’an dan Hadits, waktu yang panjang, evaluasi dan demokrasi.
6. Ayat yang diambil dalam pembahasan ini ada dua, yaitu: (Q.S Al-Baqarah:30), dengan pertimbangan dalam ayat ini menjelaskan tentang musyawarah dalam mengambil suatu keputusan didalam kehidupan karena manusia adalah pemimpin untuk mengatur bumi, sebagaimana Tuhan mengambil keputusan akan menciptakan manusia di bumi, dan (Q.S Asy-Syuura:38), dijelaskan juga musyawarah dalam mengambil keputusan pada ayat ini tentang pemilihan khalifah (pengganti kepemimpinan/penerus) Rasul saw.
7. Hadits yang diambil dalam pembahasan ini ada dua, riwayat Ad-Darimi dan Ahmad. Dalam kedua hadits tersebut menjelaskan bahwasannya mengambil suatu keputusan tidak boleh keluar dari Al-Qur’an dan Sunah, juga dari para pemuka masyarakat (ahli dalam bidangnya), dan juga tidak boleh sepihak, sebagaimana yang dilakukan oleh para khalifah.
8. Sanad perawi hadist penulis buat diagram, di dalamnya urutan-urutan perawi mulai dari sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, perawi dan penuyusun hadist. Juga dijelaskan berdasarkan penyandaranya hadist pertama mauquf, kemudian berdasarkan gugurnya sanad muqothi’, lalu berdasarkan banyaknya jalan gharib. Hadist kedua berdasarkan penyandaranya Marfu’ dan berdasarkan banyaknya jalan gharib juga.
9. Khazanah sosial Islamiahnya: mengambil keputusan dengan bermusyawarah akan menciptakan keikhlasan dan keberkahan, akan melahirkan keputusan yang terbaik, menjaga persatuan, mengambil keputusan juga dengan lemah lembut dan melahirkan hal yang baru.
10. Khazanah aplikasinya dalam peradaban Islam: pada waktu kaum Muslim menang dalam perang Badar, banyak dari pihak musuh ditawan, dan para sahabat Rasul memiliki pendapat masing-masing untuk memutuskan akan diapakan tawanan tersebut, ada yang memberi keputusan dibunuh, ada juga yang dilepaskan saja, ada juga yang disuruh membayar denda. Dan akhirnya turunlah suatu ayat Q.S Al-Imran: 159 yang menjelaskan agar mengambil suatu keputusan itu harus lemah lembut, apa lagi Islam saat itu sedang pembabatan, agar menarik simpati dan tidak melahirkan klaim Islam itu kejam akhirnya dilepaskanlah para tawanan itu dengan harapan akan menyebarkan informasi bahwa Islam itu cinta kedamaian. Dan yang perlu diperhatikan juga dalam mengambil suatu keputusan harus dilihat dari berbagai aspek; aspek sikon daerahnya, masyarakatnya, waktunya, dll.
11. Khazanah dalam Manajemen Pendidikan Islam: dalam sebuah organisasi pengambilan keputusan amat sangat diperhatikan oleh pemimpin organisasi itu, karena dari keputusan itulah yang menentukan maju dan berhasilnya suatu organisasi pendidikan. Keputusan yang tegas, cepat dan rasional yang menghantarkan sebuah organisasi itu mencapai keberhasilan serta kemajuan pendidikan yang dipimpin.
"والله أعلم بالصواب "
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Mustofa, Ahmad. Terjemah Tafsir Al-Maraghi –Penterjemah: Anshori Umar Sitonggal. Semarang: CV. Thoha Putra, 1992.
_________________, Ahmad. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: CV. Toha Putra, 1986.
Al-Qarni, Aidh. Tafsir Muyassar Jidil 4. Jakarta: Qisthi Press, 2008.
Al-Qardhawi, Yusuf. Pengantar Studi Hadits. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Andi Subarkah, dkk. Syamil Al-Qur’an Miracle The Reference. Bandung: Sygma Publishing, 2011.
Asy-Syarifain, al-Haramaini, Khadim. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Depag R.I, 1971.
Firman. Kandungan Surah Al-Baqarah: 30, dalam http://www.firmanthok.web.id/2009/10/kandungan-surat-al-baqarah-ayat-30.html, diakses pada kamis, 15 Nov 2012.
Fujiwara, Ryan. Pengambilan Keputusan, dalam http://www.scribd.com/doc/47251522/KWU, diakses pada jum’at, 09 Nov 2012.
Hamid, Ali. Akhlaqiyât al-Mihnah Mišlu wa ‘Araf Asy-Syurtah wa Kayfiÿatu Tathbiqoha. Yaman: Jami’ah Naif al-‘Arabiyah lil ‘Ulumi al-‘Ammiyah, 2008.
Hasan, Terjemah Bulughul Maram Bab Memutus Perkara. Bandung: CV. Diponegoro, 2000.
Ihsan, Muhammad. Peran Kepemimpinan Dalam Pengambilan Keputusan, Mengendalikan Konflik Dan Membangun Tim, dalam http://www.ruangihsan.net/2009/08/peran-kepemimpinan-dalam-pengambilan.html diakses pada rabu, 7 Nov 2012.
Ikhwan, Afiful. Perencanaan Pendidikan dalam Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan Islam, dalam http://afifulikhwan.blogspot.com/2011/12/perencanaan-pendidikan-dalam-manajemen.html, diakses pada kamis 15 Nov 2012.
Ismail, Bustamam. Al-Qur’an tentang Demokrasi, dalam http://hbis.wordpress.com/2008/12/10/al-qur%E2%80%99an-tentang-demokrasi/, diakses pada kamis, 15 Nov 2012.
Juliadi, Keputusan dan Pengambilan Keputusan, dalam http://juliadi.wikispaces.com/, diakses pada 10 Nov 2012.
Katsir, Ibnu. Tafsir Al-Qur’an al ’Azim Jilid IV. Beirut: Daarul Fikri, t.t.
___________, Tafsir At-Thabari Jilid XX, Kairo: Dar Hijr, 2001.
Lembaga Ilmu Dakwah & Publikasi Sarana Keagamaan, Kitab 9 Imam Hadist, Jakarta Timur: Lidwa Pusaka i-Software, 2011.
Muhammad bin Jarir, Abu Ja’far, At-Tabari. Tafsir At-Thabari Jilid I. Kairo: Dar Hijr, 2001.
Qomar, Mujamil. Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidiakan Islam-Manajemen Pendidikan Islam. Surabaya: Erlangga, 2007.
Satria, Pengambilan Keputusan dalam Manajemen, dalam http://satriabajahikam.blogspot.com/2012/02/pengambilan-keputusan-dalam-manajemen.html, diakses pada kamis 05 Nov 2012.
Shafiyurrahman, Mubarakfury. Al-Misbah Al-Munir fi Tahzib Tafsir Ibnu Kasir. Riyadh: Darussalam, t.t.
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994.
_____________, Wawasan Al-Qur'an Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2000.
Veithzal, Rivai. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Wikepedia, Ensiklopedia Bebas, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Surah_Asy-Syura, diakses pada kamis 15 Nov 2012.
Wahbah, Az-Zuhaily. At Tafsir Al Wajiz ‘ala Hamisil Qur’anil ‘Adzim. Damaskus Syiria: Darul Fikr, t.t.
Yunistia, Vienna. Definisi Pengambilan Keputusan Menurut Para Ahli, dalam http://www.scribd.com/doc/52282565/definisi-keputusan-menurut-ahli#download, diakses pada 09 Nov 2012.
[1]Juliadi, Keputusan dan Pengambilan Keputusan, dalam http://juliadi.wikispaces.com/, diakses pada 10 Nov 2012.
[2]Vienna Yunistia, Definisi Pengambilan Keputusan Menurut Para Ahli, dalam http://www.scribd.com/doc/52282565/definisi-keputusan-menurut-ahli#download, diakses pada 09 Nov 2012.
[3]Satria Baja Hikam, Penambilan Keputusan dalam Manajemen, dalam http://satriabajahikam.blogspot.com/2012/02/pengambilan-keputusan-dalam-manajemen.html, diakses pada Kamis 05 Nov 2012.
[4]Ryan Fujiwara, Pengambilan Keputusan, dalam http://www.scribd.com/doc/47251522/KWU, diakses pada 09 Nov 2012.
[5]Ibid.
[6]Rivai, Veithzal, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), t.h.
[7]Ibid.
[8]Muhammad Ihsan, Peran Kepemimpinan Dalam Pengambilan Keputusan, Mengendalikan Konflik Dan Membangun Tim, dalam http://www.ruangihsan.net/2009/08/peran-kepemimpinan-dalam-pengambilan.html diakses pada 7 Nov 2012.
[9]Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 209.
[10]Afiful Ikhwan, Perencanaan Pendidikan dalam Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan Islam, dalam http://afifulikhwan.blogspot.com/2011/12/perencanaan-pendidikan-dalam-manajemen.html, diakses pada Kamis 15 Nov 2012.
[11]Andi Subarkah, dkk., Syamil Al-Qur’an Miracle The Reference (Bandung: Sygma Publishing, 2011), 9.
[12]Khadim al-Haramaini asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag R.I, 1971), 789.
[13]Penulis menyadur (mengolah hasil pemahaman sendiri) dari ayat terkait.
[14]Wikepedia, Ensiklopedia Bebas, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Surah_Asy-Syura, diakses pada Kamis 15 Nov 2012.
[15]Az-Zuhaily, Wahbah. At Tafsir Al Wajiz ‘ala Hamisil Qur’anil ‘Adzim (Damaskus Syiria: Darul Fikr, t.t), 488.
[16]Firman, Kandungan Surah Al-Baqarah: 30, dalam http://www.firmanthok.web.id/2009/10/kandungan-surat-al-baqarah-ayat-30.html, dikases pada 15 Nov 2012.
[17]Bustamam Ismail, Al-Qur’an tentang Demokrasi, dalam http://hbis.wordpress.com/2008/12/10/al-qur%E2%80%99an-tentang-demokrasi/, diakses pada Kamis, 15 Nov 2012.
[18]At-Tabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsir At-Thabari Jilid I (Kairo: Dar Hijr, 2001), 470-500.
[19]Mubarakfury, Syeikh Shafiyurrahman, Al-Misbah Al-Munir fi Tahzib Tafsir Ibnu Kasir (Riyadh: Darussalam), 40-41.
[20]At-Tabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsir At-Thabari Jilid XX…, 420-523.
[21]Mubarakfury, Syeikh Shafiyurrahman, Al-Misbah Al-Munir…, 981.
[22]‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar Jidil 4 (Jakarta: Qisthi Press, 2008), 23.
[23]Ibnu Katsir, Sirah dan Tarikh Islam, Al Bidayah wa An Nihayah Jilid 6…, 308.
[24]A. Hasan, Terjemah Bulughul Maram Bab Memutus Perkara No.1415 (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), 639.
[25]Lembaga Ilmu Dakwah & Publikasi Sarana Keagamaan, Kitab 9 Imam Hadist, (Jakarta Timur: Lidwa Pusaka i-Software, 2011)
[26]Ibid.
[27]Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 246.
[28]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV. Toha Putra, 1986), 196-197.
[29]Ali Hamid, Akhlaqiyât al-Mihnah Mišlu wa ‘Araf Asy-Syurtah wa Kayfiÿatu Tathbiqoha (Yaman: Jami’ah Naif al-‘Arabiyah lil ‘Ulumi al-‘Ammiyah, 2008), 10.
[30]Khadim al-Haramaini asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya…, 782.
[31](Dalam urusan peperangan dan hal-hal duniawi lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan, pendidikan, dan lain-lain). Andi Subarkah, dkk., Syamil Al-Qur’an Miracle…, 139.
[32]Ibid.
[33]Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al ’Azim Jilid IV (Beirut: Daarul Fikri, tt), 143.
[34]Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi –Penterjemah: Anshori Umar Sitonggal (Semarang: CV. Thoha Putra, 1992), 130-137.
[35]Mujamil Qomar, Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidiakan Islam-Manajemen Pendidikan Islam (Surabaya: Erlangga, 2007), 294.