Nasakh Mansukh

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    LATAR BELAKANG MASALAH

Dari awal hingga akhir, al-Qu’an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur’an yufassir-u ba’dhuhu ba’dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya.al-Qur’an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hokum. Hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dan undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.

 

Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan teologi dan teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang, yang biasa dikenal “interpretasi historis.”

Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qu’an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.

 


 

 

B.    RUMUS MASALAH

1.    Apa pengertian nasikh mansukh?

2.    Apa pengertian nasikh mansukh dalam al-Qur’an ?

3.    Apa pengertian nasikh mansukh dalam hadits ?

4.    Apa pengertian klasifikasi nasik mansuk dan cara mengetahui nasikh mansuh?


C.    TUJUAN PEMBAHASAN

1.    Agar mengetahui pentingnya nasikh mansukh.

2.    Agar mengetahui nasikh mansukh dalam al-Qur’an.

3.    Agar mengetahui nasikh mansukh dalam hadits.

4.    Agar mengetahui klasifikasi nasikh mansukh.

 

BAB II
PEMBAHASAN


A.    PEGERTIAN NASIKH MANSUKH

Secara bahasa nasakh adalah menghapus, sedangkan mansukh adalah yang dihapus. Dengan demikian ada dua hal yang terkait yakni Nasikh dan Mansukh. Sedangkan menurut istilah yang dimksud dengan Nasaikh adalah meñghapuskan suatu ketentuan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datangnya kemudian.

Atau Iebih jelasnya Nasikh adalah menghapus/membatalkan berlakunya sesuatu hukum syara’ yang telah ada oleh hokum syara’ yang datang kemuudian. Sedangkan Mansukh adalah sesuatu ketentuan hukum syara yang dihapuskan oleh hukum yang dating kemudian itu. Jadi Nasikh berarti mnghapus sedangkan Mansukh berarti dihapus.

 

Dari definisi tersebut dapat diambil pemahaman bahwa antara yang merusak dengan yang dirusak itu terdapat suatu masa yang di dalam masa berlaku hukum yang dinasakhkan, artinya jika na.sakh yang merusakkan itu tidak datang, maka secara pasti hukum yang telah ada itu tetap saja berlaku. Jadi yang dibatalkan itu dikenal dengan sebutan Mansukh sedang yang membatalkan dikenal dengan sehutan Nasikh.

Para Ulama berbeda pendapat perihal adanya Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an. Ditinjau daei segi akal maupun dari riwayat, maka perihal Nasikh Mansukh itu bisa saja terjadi. Hal ini sudah disepakati para Ualarua’, kecuali nasikh mansukh terhadap dalam AlQur’an ataupun al-Qur’an dengan Al Hadits para ulama masih berbeda pendapat.

 

Menurut akal, bisa difahami bahwa setiap ummat itu memiliki kepentingan yang berbeda antara waktu yang satu dengan waktu yang lain, antara satu situasi dengan situasi yang lain. Sehingga terkadang pada suatu waktu dan situasi tertentu, karena adanya kepentingan tertentu ditetapkan adanya aturan hukum tertentu, akan tetapi pada situasi yang lain, karena adanya perubahan situasi dan kepentinan, maka ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu dirobahnya, disesuaikan dengan situasi dan kepentingan itu.

 

Misalnya ketentuan tentang boleh tidaknva berziarah kubur. Semula ziarah kubur itu dilarang oleh Nabi SAW, tetapi kemudian oleh beliau dianjurkannya. Hal ini karena situasi pada waktu dilarangnya dan pada waktu dianjurkannya itu sudah berbeda, yakni semula orang Arab Jahiliyah masih kuat sekali kemusyrikannya, setelah syirik itu terkikis oleh Nabi SAW maka mereka dianjurkan untuk ziarah kubur, karena tidak lagi ditakutkan menjadi musyrik. Misalnya riwayat lain perihal ketentuan kiblat sholat, semula nabi SAW sholat menghadap ke Baitul Maqdis kemudian dinasakh dengan menghadap ke Masjidil Haram.

Jadi secara riwayat ternyata ketentuan nasakh iyu pernah dipraktekkan oleh Nabi SAW.

  1. Golongan ke-1 menyatakan bahwa ada nasikh mansukh dalam al-Qur’an, artinya ada ayat atau ketentuan hokum dalam al-Qur’an yang dihapuskan. Yang termasuk golongan ini adalah : Imam Syafi’I, Imam As Suyuti, Imam Asy Syaukani. Alas an mereka adalah:

 

a.    Berdasarkan dalil al-Qur’an sendiri, antara lain:

 

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.(al-Baqoroh, 106)

 

Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya (An Nahl, 101)

 

Dua ayat itu mengindikasikan pembéritahuan Alloh bahwa: ada ayat yang diganti oleh ayat lain, baik yang sepertinya atau yang lebih baik daripadaaya.

Karena adanya kenyataan memperlihatkan, beberapa ayat memperlihatkan perlawanan antara lahiriah ayat yang satu dengan lainya. Misal firman Allah.

 

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S Al-Baqarah: 240)

 

Sedangkan pada firman lain. Al Baqoroh 234 Allah menyatakan:

 

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka147 menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Q.S Albaqarah:234)

 

b.    Dengan melihat contoh dua ayat itu, tentu salah satunya berperan menghapuskan ketentuan ayat yang lainnya, yakni menahan dirinya itu setahun apa empat bulan sepuluh hari.

 

2. Golongan ke-2 menyatakan tidak ada Nasikh Mansukh dalam al-Qur’an. Termasuk golongan mi adalah : Ubay Bin Ka’ab, Abu Muslim Al Isfahan, Muhammad Abduh, Rosyid Ridlo dll. Alasan mereka adalah:

 

a.    Tidak ada keterangan yang spesifik dan tegas dari Al Qur’an sendiri bahwa ayat ini dimansukh dan ayat yang ini memansukh (menghapus), yakni keterangan ayat apa yang dihapus dan ayat apa yang menghapuskan.

b.    Tidak ada keterangan Hadits yang shorih/jelas yang menjadi nash qoth’i (meyakinkan) perihal adanya ayat apa yang dimansukh itu dan ayat apa yang memansukh.

c.    Melihat pendapat para ulama’ yang menyatakan adanya Nasikh Mansukh ternyata tidak kompak (ada perbedaan pendapat perihal jumlah berapa ayat yang di mansukh itu), sehingga pendapat mereka itu tidak meyakinkan.

d.    Setelah direnungkan ternyata ayat yang nampaknya berlawanan itu masih bias dikompromikan.

Perlu diketahui bahwa karena tidak adanya penjelasan Nabi SAW secara rinci mana ayat yang Mansukh, maka para ulama berbeda pendapat tentang jumlah ayat yang masukh. Misalnya menurut An Nahhas jumlah ayat yang mansukh adalah 100 ayat, sedangkan menurut Imam As Suyuti jumlahnya 20 ayat, sedangkan menurut Asy Syaukani jumlahhnya 8 ayat.

Misalnya ayat Q.S. Al Baqoroh 184:

 

 (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui. (Q.S al-baqarah:184)

[114]  maksudnya memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari.

 

Menurut ulama golongan pertama bahwa ayat ini dimansukh  oleh surat al-Baqoroh, 185:

 

185.  (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.(Q, S al-baqarah:185)

 

Sebaliknya bagi golongan kedua yang menyatakan tidak ada nasakh mausukh dalam Al Quran, kedua ayat tersebut bisa dikompromikannya, yakni bagi siapa saja yang melihat bulan hendaknya berpuasa, kecuai bagi yang tidak mampu melaksanakan puasa, mereka yang sangat tua atau lemah ini bila dikehendaki dapat berbuka puasa dengan menggantinya dengan fidyah.

 

B.    NASAKH MANSUKH DALAM AL-QUR’AN

 

106.  Ayat mana saja[81] yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
·    [81]  para Mufassirin berlainan pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
(QS. Al-Baqarah : 106)

 

Asy sa’dy berhujjah untuk orang yang memakai makna ini dengan firman Allah: “Inna kunna nastansikhu makuntum ta’malun-bahwasanya Kami menukilkan apa yang kamu kerjakan (QS. 45, Al Jatsiyah:29) yang dipautkan dengan firman Allah “Wa innahu fiummil kitabi ladaina la’aliyyun hakim = Sesungguhnya dia, yang berada di ummul kitab di sisi kami sungguh tinggi lagi kokoh”. (QS. 43, Az-Zukhruf: 4).

 

Al-Kitab menurut Asy Sa’dy tidak lain adalah Lauh Mahfuz atau Al-Kitabul Maknun. Penasikh Al-Qur’an yang menukilkannya telah mendatangkan lafal yang dimansukh, dinukil dan diturunkan kepada rasul.

Sumber perbedaan pendapat dalam mendefinisikan lafal nasakh kembali kepada pembatasan makna kata secara lughah secara istilah, supaya penggunaan lafal nasakh yang telah digunakan Al-Qur’an dalam firman Allah ayat 106 S. 2, Al-Baqarah, berlaku menurut uslub bahasa Arab dalam menerangkan sesuatu peristiwa yang mempunyai kedudukan yang besar.


Pendapat Beberapa Ulama Mengenai Nasakh-Mansukh

Menurut pendapat sebagian ulama ahli tahqiq, Al-Qur’an menggunakan lafal nasakh di segala tempat, sesuai dengan makna yang asli (hakiki) yang hanya itulah makna yang terguris di dalam dada masing-masing manusia. Oleh karenanya, mentakrifkan nasakh dengan perkataan raf’ul hukmisy syar’iyi bi dalilin syar’iyin = mengangkat sesuatu hukum syara’ dengan dalil syara’, adalah tahdid istilahy yang paling tepat bagi lafal ini, yang sesuai dengan bahasa Arab yang menetapkan bahwasanya nasikh itu, bermakna “menghilangkan dan mengangkat ketempat yang lain”.

 

Nash-nash syara’ mengangkat sebagian hukumnya dengan dalil-dalil yang kuat dan tegas pada peristiwa-peristiwa yang tertentu, karena mengandung rahasia-rahasia dan hikmah-hikmah yang hanya diketahui oleh ulama-ulama yang kuat ilmunya. Yang lainnya berpendapat bahwasanya nasakh hanya di dalam Al-Qur’an sendiri. Maka tidak salah al Quran dinasakhan oleh al-Quran,sepertimenasakhan puasa hari asyura dengan ayat shiyam.

 

Diantara tindakan dari para ulama yang berlebihan ialah mereka telah membagi sebuah ayat kepada dua bagian, lalu mereka mengat akan bahwa permulaannya dimansukhan oleh akhirnya.

Seperti firman Allah ayat 105 Surah Al-Maidah. Akhir ayat itu menyeru kita supaya menyuruh makruf dan mencegah munkar. Maka akhir ayat ini, menurut pendapat Ibnu Araby menasakhkan permulaannnya. Bahkan Ibnu Araby mengatakan, bahwa permulaan ayat 199 Surah Al A’raf dan demikian pula akhirnya mansukh. Hanya pertengahannya saja yang muhkam.

 

Kegemaran mereka menyingkap mana yang mansukh dalam ayat-ayat Al-Qur’an, menjerumuskan mereka kedalam berbagai kesalahan yang selayaknya mereka jauhi. Mereka memandang nasakh dalam al quran terbagi menjadi tiga macam:

·    Menasakhan hukum, tetapi tidak tilawahnya.

·    Menasakhan tilawah, tetapi tidak hukumnya.

·    Menasakhan hukum dan tilawah.

 

Bahkan ada lagi golongan yang mengatakan bahwa ayat yang nasikh itu bisa menjadi mansukh pula. Mereka berkata : “Ayat ke-6 dari surah Al-Kafirun dimansukhan oleh ayat ke-5 surah At-Taubah, kemudian ayat ke-5 surah At-Taubah itu, dimansukhan oleh ayat 29 surah At -Taubah.”

Sikap berlebih-lebihan sebagian ulama tentang nasakh dan mansukh itu jelas tidak masuk akal, dan seolah-olah meragukan eksistensi Al-Qur’an itu sendiri.

 

C.    NASAKH MANSUKH DALAM HADITS

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. telah menghilangkan segala keaiban (nasakh dan mansukh) dari Agama Islam setelah beliau diutus. Beliau telah membuktikan dengan dalil-dalil bahwa Al-Qur’an itu petunjuk terakhir Allah swt. Al-Qur’an terpelihara dari kemansukhan. Segala sesuatu yang terkandung di dalamnya wajib diamalkan oleh orang-orang Islam. Tiada satu bagianpun yang bertentangan dengan bagian lainnya dan patut dianggap mansukh. Barang siapa melihat pertentangan didalamnya, ia sendirilah yang jahil, dan ia menuduhkan ketunaan pengetahuannya kepada Al-Qur’an Suci. Didalamnya tidak sedikitpun terjadi perubahan. Kata demi katanya dan huruf demi hurufnya utuh seperti dahulu ketika diturunkan kepada junjungan kita Rasulullah saw. Allah Ta’ala sendirilah yang menjadi penjaganya. Dia mengadakan sarana-sarana penjagaan rohani maupun jasmani baginya sedemikian ketatnya sehingga campur tangan manusia tidak dapat memberi bekas kepadanya.2 Jadi, mengatakan adanya pembatalan di dalamnya adalah keliru. Begitu pula mempercayai ada perubahan didalamnya merupakan suatu tuduhan keji.

Dalil yang sering digunakan olah para ulama berkenaan dengan nasakh dan mansukh adalah firman Allah swt. Dalam Surah Al-Baqarah : 106 ;

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”.

Ada kekeliruan dalam mengambil kesimpulan dari ayat ini. bahwa, beberapa ayat Al-Qur’an telah dimansukhan (tidak berarti lagi). Kesimpulan itu jelas salah dan tidak beralasan. Tiada sesuatupun dalam ayat ini yang menunjukan bahwa, kata ayah itu maksudnya ayat-ayat Al-Qur’an. Padahal kata ayah itu sendiri memiliki banyak arti diantaranya pesan, tanda, perintah atau ayat Al-Qu’ran. Dan yang tepat dalam konteks ini adalah diartikan dengan perintah. Karena dalam ayat sebelum dan sesudahnya telah disinggung mengenai Al-Kitab dan keirian mereka terhadap wahyu baru yang menunjukan bahwa ayah yang dikatakan mansukh dalam ayat ini, menunjuk kepada wahyu-wahyu terdahulu. Dijelaskan bahwa ayat-ayat suci terdahulu mengandung dua macam perintah:

•    Yang menghendaki peghapusan karena keadaan sudah berubah dan karena keuniversalan wahyu baru itu (Al-Qur’an), menghendaki penghapusan.

•    Yang mengandung kebenaran kekal-abadi, atau memerlukan penyegaran kembali sehingga orang dapat diingatkan kembali akan kebenaran yang terlupakan.

Karena itu, perlu sekali menghapuskan bagian-bagian tertentu dari kitab-kitab suci itu dan mengganti dengan perintah-perintah baru dan menegakkan kembali perintah-perintah yang sudah hilang. Maka, Tuhan menghapuskan beberapa bagian wahyu terdahulu, dan menggantikannya dengan yang baru dan lebih baik, dan disamping itu memasukkan lagi bagian-bagian yang hilang dengan yang sama. Itulah arti yang sesuai dan cocok dengan konteks (letak) ayat ini dan dengan jiwa umum ajaran Al-Qur’an.3

Jadi jelaslah bahwa pengertian tentang nasakh yang menghilangkan sebagian ayat-ayat dalam Al-Qur’an adalah suatu kesalahan dan tidak ada relevansinya dengan apa yang sedang dibahas dalam ayat (Al-Baqarah : 107) ini. Karena yang dimaksud dengan nasakh dalam ayat ini adalah berkenaan dengan hukum-hukum/perintah-perintah yang terdapat dalam kitab suci terdahulu.

 

Yang di maksud dengan Nasikh Mansukh ialah Ilmu pengetahuan yang membahas tentanghadist yang datang terkemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan hukum yang berlawanandengan kandungan hadist yang datang terlebih dahulu, ada juga yang memberi Pengertian(ta'rif)ilmu nasikh mansukh sebagai berikut :"Ilmu yang menerangkan hadist-hadist yang sudah di mansukhkan dan yang menasikhkanya".Para Muhaddisin memberikan penjelasan tentang nasikh Mansukh secara lengkap yaitu:"Ilmu yang membahas hadist-hadist yang serting berlawanan maknanya yang tidak mungkindapat dikompromikan dari segi hokum yang terdapat pada sebagianya,karena ia sebagai nasikh(penghapus) terhadap hokum yang terdapat pada sebagian lainya,karena ia sebagaimansukh(yang dihapus).karena itu yang mendahului adalah sebagai mansukh dan hadist yangterakhir adalah sebagai nasikh".sejarah perkembangan sumber Ilmu Nasikh Mansukh itu sudah ada sejak pendiwanan(kodifikasi) pada awal abadpertama,akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri.

 

Kehadiranya sebagaiilmu di promotori oleh Qatadah bin Di"amar As-sudusi (61-118 H.) dengan tulisan beliau yangdiberi judul "An-nasikh wal-mansukh", Namun sangat disayangkan bahwa kitab tersebut tidakbisa kita manfaatkan ,lantaran tiada sampai hidup kita.Urgensi dari pada ilmu ini adalah :

·    Mengetahui Ilmu Nasikh Mansukh adalah tertmasuk kewjiban yang penting bagi orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syari"at. Karena seorang pembahas syari"at tidakakan dapat memetik hokum dari dalil-dalil naskh (hadits), tanpa mengetahui dalil-dalilnash yang sudah di nasakh dan dalil-dalil yang menasakhnya.

·    Memahami khitob hadits menurut arti yang tersurat adalah mudah dan tidak banyakmengorbankan waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah mengistimbatkanhukum dari dalil-dalil nash (hadits) yang tidak jelas penunjukanya. Diantara jalan untuk

·    Mentahqiq (mempositipkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat ialah denganmengetahui mana hadits yang terdahulu dan mana pula hadits yang terkemudian danlain sebagainya dari segi makna.

Ilmu nasikh mansukh ini bermanfaat untuk pengamalan hadits,Apabila ada dua haditsmaqbul (Diterima) yang tanaaqud (bertentangan) yang tidak dapat dikompromikan ataudijama" (di kumpulkan). Apabila dapat di kompromikan,hanya sampai pada tingkatMukhtalif Al-hadits,maka kedua hadits tersebut dapat diamalkan. Namun jika tidak bisadijama" (Di kompromikan), maka hadits maqbul yang tanaaqud tadi di tarih atau dinasakh.

 

D.    KLASIFIKASI NASIKH MANSUKH DAN CARA MENGETAHUI NASIKH MANSUKH

a)    Klasifikasi Nasikh

Para ahli ushul yang mengakui keberadaan nasakh itu, membagi nasakh menladi beberapa bagian, yaitu:

1.    Nasakh yang gantinva tidak ada, seperti nasakh terhadap keharusan orang yang akan berbicara dengan Nabi SAW untuk bersedekah kepada orang miskin.

2.    Nasakh yang gantinya ada, seperfi kewajiban shalat yang asalya sebanyak 50 kali sehari semalam, menjadi hanya 5 kali sehari-semalam.

3.    Nasakh bacaannya, tetapi hukumnva tetap berlaku, seperti hukum

ranjam bagi laki-laki dan wanita tua yang telah menikah dan ini dinasakh dengan ayat lain.

4.    Nasakh hukumnya, tetapi bacaannva masih ada. seperti nasakh terhadap kewajiban sedekah kepada orang miskin.

5.    Nasakh hukumnya dan bacaannya sekaligus, seperti hukurn haramnya menikahi saudara sesusuan dengan batasan 10 kali menjadi hanya 5 (Hadis riwayat Bukhari-Muslim dari ‘Aisvah)

6.    Penambahan hukum dari hukum yang pertama. Dalam masalah ini

yang dipersoalkan adalah

Ø    Apakah tambahan itu dianggap menasakh nash atau hanya sebagai penjelas terhadap nash. Para ahli berbeda pandangan, yaitu:

·    Kelompok Hanafiyyah berpendapat bahwa tambahan itu termasuk menasakh. Maksudnya jika nash tersebut bersifat qath’iy maka tidak dapat menasakh dengan hadis ahad. Jika tambahan terdapat hadis ahad, maka berakibat tambahan tersebut ditinggalkan dan tidak boleh dipakai.

·    Jumhur Ulama, dan kelompok Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tambahan itu merupakan penjelas (bayan) dari nash, bukan menasakh’. Sekalipun mereka tetap memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Ø    Jika hukum tambahan tidak terkait dengan hukum yang ditambah, hal itu tidak termasuk nasakh, karena keduanya terpisah, seperti penambahan kewajiban shalat pada ayat yang menerangkan kewajiban zakat, sehigga perintah shalat tidak berpengaruh pada zakat.

Ø    Jika hukum yang di nasakh itu berkaitan dengan hukum yang ditambah, maka tambahan itu namanya nasakh, seperti penambahan rakaat pada shalat shubuh yang hanya dua rakaat. Hal ini berarti mengubah esensi dari shalat itu sendiri.

Ø    Jika penambahan itu mempengaruhi pada bilangan tetapi tidak mempengaruhi esensi hukum semula, seperti hukuman dera bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina adalah 80 dera dan ditambah dengan 20 pukulan. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat, yaitu:

·    Jumhur berpendapat tidak dinamakan nasakh, karena esensinya masih tetap.

·    Kelompok Hanafiyah berpendapat termnasuk nasakh, karena hukum asalnya sudah berubah.

b)    Cara Mengetahui Nasakh dan Mansukh.

Adapun tata-cara untuk mengetahui dan melaak ada dan tidaknya nasakh- mansukh adalah sebagai berikut:

·    Adanya penjelasan langsung dari nash al-Qur’an dengan menggunakan ayat yang menjelaskan nasakh

·    Adanya penjelasan langsung dan Rasulullah, seperti masalah berziarah,

Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, tetapi sekarang berziarahlah. (Hadis riwayat Muslim)

·    Adanya tindakan Nabi saw sendiri, seperti dera 100 kali bagi pezina, diantaranya:

o    Al-Qur’an, surat: an-nur:2, yaitu: pezina harus di dera 100 kali dera :

(èpu‹ÏR#¨“9$# ’ÎT#¨“9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7‰Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_  

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera(Q, S, an nuur,2)

o    al-Hadis, yaitu: pezina bujang atau gadis didera 100 kali dan diasingkan 1 tahun. Pengasingan 1 tahun sebagai tambahan.

·    Adanya penjelasan dan para sahabat bahwa nash ini dinasakh dan nash yang ini yang menasakh (mansukh),

·    Adanya keterangan dan periwayatan hadis yang menyatakan bahwa satu hadis dikeluarkan tahun sekian dan hadis lain tahun sekian, seperti ucapan ayat ini turun setelah ayat ini dan sebagainya. Contoh :

§    AI-Qur’an surat AI-muzammil:20,

 

 

Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.

§    Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa penentuan surat al-fatihah dalam hadis merupakan penjelas terhadap segala sesuatu yang dikatakan sebagai ayat-ayat yang mudah.

§    Kelompok Hanafiyah berperidapat bahwa bacaan yang diwajibkan di dalam shalat adalah sembarang ayat al-Qur’an dan tidak harus surat al-Fatihah.

c)    Cara Mengetahui Nasakh dan Macam-Macamnya

Manna’ al-Qatthan menetapkan 3 cara untuk mengetahui bahwa suatu dikatakan nasikh, dan ayat lain dikatakan mansükh, yaitu:

1.    Keterangan tegas dan Nabi.

2.    Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan mansukh.

3.    Melalui study sejarah.

Adapun pembagian nasikh ada 4 bagian yaitu:

1.    Nasikh Al-Qur’an dengan-Al-Qur’an. Contohnya: ayat tentang iddah 4 bulan 10 hari.

2.    Nasikh Qur’an dengan sunah. Dalam hal ini dibagi menjadi 2 macam:

·    Nasakh Qur’an dengan hadis ahad

·    Nasakh Qur’an dengan hadis mutawatir

3.    Nasakh sunah dengan Qur’an. Contohnya kewajiban puasa pada hari Asyura yang ditetapkan berdasarkan sunah, dinasakh oleh firman Allah: “Maka barangsiapa menyaksikan bulan Ramadlan hendaknya ia berpuasa”. (Q.S. AI-Baqarah: 185).

4.    Naskh sunnah dengan sunnah. Dalam kategori ini terdapat 4 bentuk:

·    Naskh mutawatir dengan mutawatir.

·    Naskh ahad dengan ahad

·    Naskh ahad dengan mutawatir

 

BAB III
KESIMPULAN

 

Nasikh adalah memindahkan, merubah, menggantikan, atau menghilangkan. Sedangkan sesuatu yang dihilangkan, digantikan, diubah, dipimdahkan, disebut mansukh.

Dasar-dasar penetapan nasikh mansukh yaitu melalui pentransmisian yang jelas dari nabi atau para sahabatnya melalui kesepakatan umat melalui studi sejarah.

Ada tiga macam nasikh diantaranya menghapus terhadap hokum dan bacaan secara bersamaan. Nasikh dalam al-Qur’an ada empat; nasikh shirih, nasikh dhimmy, nasikh kully, nasikh juz’i. hikmah keberadaan nasikh yaitu menjaga kemaslahatan umat, mengembangkan pengertian hukum sampai pada tingkat kesempurnaan menjadi kualitas keimanan mukallaf, kebaikan dan keburukan umat.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, El Kaf, Surabaya:60237

 

Al Ghozaly, al Mankhul, Minta’likat Al-ushul fiqih Muhammad Hasan Haiti. Mesir, Dar Al-fikr:1980

 

Quraish shihab, Membumikan Al­­-Quran, Bandung, Mizan:1992

 

 Ma’shum Zain Muhammad, Ilmu Ushul fiqih, Darul Hikmah Jombang, Dan Maktabah Syarifah Al-Khodijah. 

 

Depertemen agama RI, al-Quq’an Mushaful Mufssiru, Bairut,2009,dan al-Qur’an al-kaaf, ponegoro.2004

 

Ibnu Badran,al-Madkhal lla Mazhab Ahmad Bin Hanbal, (Mesir,Mathaba’ah Idara thaba’ah al-Muniroh,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

View My Stats
Flag Counter
View My Stats