


Oleh: Afiful Ikhwan*
وعن ابي سعيد الخدر رضي الله عنه عن النبي ص.م قال : ايّاكم والجلوس في الطرقات, قالوا : يا رسول الله ما لنا من مجالسنا بدّ نتحدّث فيها, ققال رسول الله ص.م : فاذا ابيتم الاّ المجلس فاعطوا الطّريق حقّه, قالوا : وما حقّ الطّريق يا رسول الله ؟ قال : غضّ البصر, وكفّ الاذي, وردّ السّلام, والامر بالمعروف, والنّهي عن المنكر, (رواه البخاري و مسلم)
Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri r.a, bahwasanya Nabi saw. pernah bersabda, "Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan." Para sahabat berkata, "Ya Rasulullah, kami duduk di situ untuk mengobrol, kami tidak bisa meninggalkannya." Beliau bersabda, "Jika kalian tidak mau meninggalkan tempat itu maka kalian harus menunaikan hak jalan." Para sahabat bertanya, "Apa hak jalan itu ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Menundukkan pandangan, membuang hal–hal yang mengganggu di jalan, menjawab salam, memerintahkan perkara ma'ruf, dan melarang perbuatan mungkar," (H.R Bukahri dan Muslim).[1]
Diriwayatkan dari al-Barra' bin Azb r.a, ia berkata, "Nabi saw. melintas di majelis orang-orang Anshar, lalu beliau bersabda, "Jika kalian enggan meninggalkan tempat tersebut maka tunjukilah si penanya jalan, jawablah salam dan tolonglah orang yang teraniaya'," (Shahih, HR Abu Dawud ath-Thayalisi [710] dan at-Tirmidzi [2726]).
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. mendatangi kami pada saat kami duduk-duduk di pinggir jalan. Lalu beliau bersabda, 'Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan ini sebab ini adalah majelisnya syaitan. Jika kalian enggan meninggalkannya maka tunaikanlah hak jalan.' Lantas Rasulullah saw. pergi. Aku berkata, 'Rasululllah saw. bersabda, 'Tunaikanlah hak jalan dan aku belum bertanya apa hak jalan itu.' Maka akupun mengejarkan dan bertanya, 'Ya Rasulullah, anda katakan begini dan begitu, lalu apa hak jalan itu?' beliau menjawab, 'Hak jalan adalah menjawab salam, menundukkan pandangan, tidak mengganggu orang lewat, menunjuki orang yang tersesat, dan menolong orang yang teraniaya'," (Hasan lighairihi, HR ath-Thahawi dalam kitab Musykilul Atsar [165]).
Beliau adalah seorang shahabat yang agung, Abu Sa’îd, Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khazrajiy al-Anshâriy al-Khudriy. Kata terakhir ini dinisbatkan kepada Khudrah, yaitu sebuah perkampungan kaum Anshâr. Ayah beliau mati syahid pada perang Uhud. Beliau ikut dalam perang Khandaq dan dalam Bai’atur Ridlwân. Meriwayatkan dari Nabi sebanyak 1170 hadits. Beliau termasuk ahli fiqih juga ahli ijtihad kalangan shahabat dan wafat pada tahun 74 H.
Abu Ja'far ath-Thahawi berkata dalam kitabnya Musykilul Atsar (I/158), "Coba perhatikan atsar-atsar ini, ternyata kita dapati bahwa Rasulullah saw. melarang duduk di pinggir jalan. Kemudian beliau membolehkannya dengan catatan harus menunaikan hak-hak jalan tersebut sebagai syarat pembolehannya. Kita juga dapati bahwa larangan duduk di pinggir jalan ditujukan bagi mereka yang tetapi ingin duduk di pinggir jalan tetapi tidak menunaikan syarat-syarat tadi. Padahal duduk di tempat tersebut dibolehkan bagi mereka yang dapat menjamin dirinya menunaikan syarat-syarat dibolehkannya duduk di pinggir jalan." Dengan demikian, jelaslah perbedaan antara larangan Nabi saw. dan pembolehannya. Dan masing-masing memiliki makna yang berbeda dengan yang lainnya.
Hadits ini menunjukkan bolehnya menggunakan jalan umum selama tidak mengganggu pengguna jalan. Jika demikian halnya maka secara akal, apabila duduk di pinggir jalan dapat membuat sempit bagi pengguna jalan, tidak termasuk hal yang dibolehkan oleh Rasulullah saw. Perkara seperti ini hukumnya sebagaimana yang tercantum dalam hadits Sahl bin Mu'adz al-Juhani dari ayahnya, "Ketika areal perumahan sudah semakin sempit hingga orang-orang menutup jalan untuk perumahan, maka pada beberapa peperangan Rasulullah saw. memerintahkan untuk diumumkan bahwa barangsiapa yang rumahnya sempit lantas ia menutup jalan untuk perumahan maka tidak ada jihad baginya."
Oleh karena itu wajib bagi orang yang memiliki akal untuk memahami hadits Rasulullah saw. yang beliau tujukan kepada ummatnya. Sesungguhnya beliau berbicara kepada mereka agar mereka benar-benar berada di atas aturan agama mereka, di atas adab yang berlaku dalam agama mereka, dan hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam agama mereka. Dan hendaklah ia mengetahui bahwa tidak ada pertentangan di dalam hukum-hukum tersebut. Dan setiap makna yang beliau lontarkan kepada mereka yang mengandung lafadz bertentangan dengan lafadz sebelumnya merupakan lafadz yang memiliki makna yang sejenis dan dicari dari masing-masing kedua makna tersebut. Apabila terdetik dalam hati mereka adanya pertentangan atau perbedaan, berarti makna tersebut bukan seperti yang mereka duga. Dan apabila sebagian orang tidak mengetahui makna tersebut, itu dikarenakan kelemahan ilmunya, bukan karena adanya pertentangan sebagaimana apa yang mereka sangka. Sebab Allah telah menjamin tidak ada pertentangan di dalamnya. Allah berfirman :
"Kalau kiranya al–Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya," (An-Nisaa': 82).[3]
Dan termasuk penyebab terlarangnya duduk di pinggir jalan karena akan berhadapan dengan bahaya fitnah wanita-wanita muda dan dikhawatirkan munculnya fitnah setelah melihat mereka. Padahal para wanita tidak terlarang melintas di jalan-jalan untuk suatu keperluan. Demikian juga jika ia berada di rumahnya, tentunya ia tidak akan berhadapan dengan hak-hak Allah dan hak kaum muslimin di mana ia tidak sendirian dan harus melakukan apa yang wajib ia lakukan, seperti ketika ia melihat kemungkaran dan terhentinya kebaikan, maka pada saat itu seorang muslim wajib menyuruh berbuat baik dan melarang kemungkaran tersebut. Sebab meninggalkan itu semua berarti telah berbuat maksiat.
Demikian juga, ia akan bertemu dengan orang yang akan melintas maka mereka harus menjawab salam mereka. Dan mungkin akan membuatnya bosan menjawab salam jika pelintas yang memberi salam semakin banyak, sementara menjawab salam itu hukumnya wajib. Jika ia tidak jawab salam tentunya ia akan mendapat dosa.
Oleh karena itu, orang yang diperintahkan untuk tidak menghadang fitnah dan menyuruh untuk melakukan sesuatu yang diperkirakan ia sanggup melakukannya. Untuk menghindari masalah inilah syari'at menganjurkan mereka agar tidak duduk di pinggir jalan. Ketika para sahabat menyebutkan pentingnya tempat tersebut bagi mereka untuk beberapa maslahat, tempat berjumpa, tempat membincangkan masalah agama dan dunia atau untuk tempat istirahat dengan berbicalah masalah yang hukumnya mubah, maka Rasulullah saw. menunjukkan kepada mereka perkara-perkara di atas yang dapat menghilangkan kerusakan yang timbul akibat duduk di pinggir jalan.[4]
[1] Shabir Muslich, Drs. M.A, Terjemah Riyadhus Shalihin II, PT. Karya Toha Putra Semarang, Semarang : 2004.
[2] http://ranselhijau.wordpress.com/2009/04/18/kode-etik-bagi-pengguna-jalan/#more-231
[3] Depag R.I, Al-Qur’an dan Terjemah, C.V Aneka Ilmu, Semarang : 2001.
[4] Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari, Pustaka Imam Syafi'I : 2006, h. 3/330-331.
*) Penulis Mahasiswa Program Doktor di UIN Malang