KEPEMIMPINAN SITUASIONAL (Suatu Kajian Terhadap Konsep Kenneth Blanchard )
Oleh: Afiful Ikhwan[*]
Abstract: This study attempats to analyze the concept of Situasional Management founded by Kenneth Blanchard by means of Content Analysis. Its elaborates managers’ behavior in leading, encouraging a companyor institution as well as in solving problems from which point the managers re going to make further policy for the company. It also discusses the development of employees by encouraging the employees to improve their skiils and spirits in their working places. The author of this study, finally concludes that a manage should vary his or her managerial technique in working with his or her subordinates in leading, encouraging, solving problems, making decision, as well as improving skiils according to the current situation of the companies they are managing.
Kata Kunci: Kepemimpinan, Situasional
Perhatian pertama tentang hubungan antara manager dengan orang-orang (bawahan) yang melapor padanya. Ini adalah cara kebanyakan dari kita berpikir tentang kepemimpinan.
Ciri, sikap dan perilaku kepemimpinan telah dikaji selama beberapa dasawarsa, juga melalui pengamatan langsung terhadap pemimpin yang dinilai berhasil dalam kepemimpinannya. Salah satu di antara hasil kajian tersebut yang sangat bermanfaat adalah kajian Kenneth Blanchard dan Paul Hersey.(Anonim, 1988:35)
Mereka berjasa besar melengkapi teori-teori kepemimpinan yang pernah ada dengan pendekatan berdasarkan situasi tertentu terhadap gaya dan perilaku kepemimpinan (Situational leadership) untuk memahami teori tersebut langsung dari sumber aslinya, di sini diuraikan sebuah kajian Kenneth Blanchard.
Konsep teori kepemimpinan situasional (Situational leadership) merupakan suatu teori yang sudah menyebar luas sejak lebih dari satu dasawarsa yang lalu. Ini membuktikan teori tersebut benar-benar diakui kegunaan praktisnya dan mampu memahamkan secara lebih baik dan memberi petunjuk yang mudah cara-cara mengelola dan memotivasi orang. Konsep ini pertama kali dirumuskan oleh Paul Hersey dan Kenneth Blanchard pada tahun 1969, (Paul dan Kenneth, 1969) kemudian diuraikan secara lengkap dalam buku teks mereka yang terkenal Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources: (Paul dan Kenneth, 1982: 221). Tulisan singkat ini adalah perumusan mutakhir dari Kenneth Blanchard sendiri tentang kepemimpinan situasional setelah mengembangkannya lebih jauh bersama rekan-rekannya di lembaga Blanchard Training & Development Inc (BTD).
Kajian ini mereka gunakan dalam berbagai program latihan dan konsultasi manajemen di seluruh dunia.
KEPEMIMPINAN DAN GAYA KEPEMIMPINAN
Hampir setiap saat seseorang mencoba mempengaruhi prilaku orang lain, yang ditampilkan dalam suatu bentuk tindakan kepemimpinan.
Dengan demikian kepemimpinan adalah suatu proses pengaruhi. Jika seorang berminat mengembangkan kemampuan anggotanya dan membangun suatu iklim kerja yang mampu membangkitkan semangat mereka mencapai tingkat produktivitas tinggi dalam jangka panjang, seseorang perlu menin-jaunya kembali dalam gaya kepemimpinannya sendiri.
Gaya kepemimpinan adalah pola prilaku yang ditampilkan ketika seorang mencoba mempengaruhi prilaku orang lain sebagaimana mereka sendiri menganggapnya demikian. Jika pandangan terhadap prilaku dirinya sudah demikian menarik dan penting, itu belum seberapa jika dibandingkan dengan pandangan mereka yang akan dipengaruhi tersebut.
Selama ini, jika orang-orang berbicara soal kepemimpinan, mereka menandainya dalam dua kutub yang saling bertentangan, yakni:
Kepemimpnan otoratis (bersifat serba mengarahkan dan memerintah) di satu sisi, dan kepemimpinan demokratis (bersifat mendorong dan mendukung). Kepemimpinan otokratis didasarkan pada kedudukan pemilikan kekuasaan dan kewenangan, sementara kepemimpinan demokratis lebih dikaitkan dengan kekuatan pribadi dan peran serta anggota yang dipimpin dalam proses pemecahan masalah dan pembuatan keputusan.
Tanem-baun dan Schmidt, dalam sebuah tulisan klasik mereka di Harvard Bussines Review, (Robert dan Werren, 1957: 222) menyatakan bahwa kedua sifat kepemimpinan ini otokratis dan demokratis adalah dua gaya kepemimpinan dalam suatu garis kontinum dari pimpinan yang sangat otokratis di salah satu ujungnya kepemimpinan yang sangat demokratis pada ujung yang lain.
KEPEMIMPINAN SITUASIONAL
Hasil-hasil penelitian (Roger dan Alvin, 1957: 223) ternyata kemudian menunjukkan, gaya kepemimpinan cenderung sangat bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya. Kalau kita menganggapnya dalam satu garis kontinum sebagai dua gaya kepemimpinan ini dan itu sangat tidak tepat. Meskipun prilaku banyak pemimpin terutama ditandai oleh kegiatan-kegiatan mereka memberikan pengarahan atau perintah kepada bawahannya untuk menyelesaikan tugas, namun cukup banyak juga pemimpin yang lebih memusatkan perhatian mereka pada penciptaan suasana yang mendukung terjalinnya hubungan baik antara dirinya dengan para bawahannya. Pada situasi lainnya, prilaku mengarahkan dan memerintahkan serta prilaku menumbuhkan dukungan tersebut, ternyata bisa terjadi bersamaan dan tergabung dalam berbagai variasinya. Jadi, kedua jenis prilaku tersebut memang bukan dua sifat gaya kepemimpinan ini dan itu. Jelasnya, pola-pola prilaku pemimpin tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Mengarahkan Rendah Mendorong Tinggi G3 |
Mengarahkan Tinggi Mendorong Tinggi G2 |
Mengarahkan Tinggi Mendorong Rendah G4 |
Mengarahkan Tinggi Mendorong Rendah G1 |
Terdapat empat jenis gaya kepemimpinan yang terlihat pada gambar di atas. Masing-masing gaya menampilkan suatu gabungan prilaku mengarahkan dan prilaku menumbuhkan dukungan berbeda satu sama lain (Paul dan Kenneth, 1982: 233). Berbagai penggabungan tersebut, masing-masing dapat dibedakan satu sama lain atas dasar tiga matra pokok, yakni:
- Besarnya pengarahan atau perintah yang diperlukan dan diberlakukan sang pemimpin.
- Besarnya dukungan dan dorongan semangat yang diperlakukan dan diberikan sang pemimpin.
- Besarnya keterlibatan bawa-han (anggota, yang dipimpin) dalam pembuatan keputusan.
PRILAKU PEMIMPIN MENGARAHKAN DAN MENDORONG
Prilaku mengarahkan (Directive Behaviour) diartikan sebagai: tindakan yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam bentuk komunikasi satu arah; menjelaskan peran bawahan dan memerintahkan kepada bawahan apa yang mesti mereka kerjakan, di mana mereka harus mengerjakannya, kapan, dan bagaimana caranya; serta melakukan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan tugas dan hasil kerja bawahan tersebut.
Prilaku mendorong (Supportive Behaviour) diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam bentuk komunikasi dua arah, lebih banyak mendengarkan saran dan pendapat bawahan yang telah memberikan banyak dukungan dan dorongan semangat, memperlancar dan mempermudah terjadinya hubungan antara setiap orang, dan melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan.
Seperti terlihat pada gambar di atas tadi, Gaya-1 (G1) adalah gaya kepemimpinan yang sangat banyak (tinggi) prilaku mengarahkan atau memberi perintah, dan sangat sedikit (rendah) prilaku yang menumbuhkan dukungan dan dorongan semangat. Pemimpin bergaya seperti ini memberikan penjelasan sangat terinci (tentang tujuan yang harus dicapai dan peran yang harus dijalankan) kepada bawahannya dan secara ketat mengawasi pelaksanaan tugas serta hasil kerja bawahannya tersebut. Gaya-2 (G2) adalah gaya kepemimpinan yang tinggi prilaku mengarahkan maupun menumbuhkan dorongan semangat. Pemimpin bergaya seperti ini juga menjelaskan secara rinci keputusan yang diambilnya kepada bawahan, tetapi tetap harus melakukan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan tugas dan hasil kerja bawahan tersebut. Gaya-3 (G3) adalah gaya kepemimpinan yang sangat rendah dalam prilaku mengarahkan, namun tinggi dalam prilaku menumbuhkan dorongan semangat. Pemimpin bergaya seperti ini membuat keputusan-keputusan bersama dengan bawahannya dan memberi dorongan kepada mereka untuk menyelesaikan pelaksanaan keputusan-keputusan tersebut. gaya-4 (G4) adalah gaya kepemimpinan yang sangat rendah prilaku mengarahkan maupun yang menumbuhkan dorongan semangat. Pemimpin bergaya seperti ini mengalihkan semua keputusan dan melimpahkan tanggung jawab serta wewenang kepada bawahan untuk melaksanakan keputusan-keputusan tersebut.
KEPEMIMPINAN SEBAGAI GAYA PEMECAHAN MASALAH DAN PEMBUATAN KEPUTUSAN
Sebagaimana didefinisikan tadi, gaya kepemipinan adalah pola prilaku yang akan dilakukan seeorang jika ingin mencoba mempengaruhi prilaku orang lain sebagaimana dipandang oleh orang-orang tersebut. Karena prilaku para bawahan pada dasarnya adalah sebagai tanggapan terhadap gaya kepemimpinan yang diberlakukan kepada mereka dalam rangka proses pemecahan masalah dan pembuatan keputusan organisasi, keempat gaya kepemimpinan itu dapat juga diartikan sebagai suatu proses pemecahan masalah dan pembuatan keputusan. Jika dipahami akan terlihat bahwa prilaku pemimpin sangat mengarahkan dan kurang menumbuhkan dorongan dinamakan juga sebagai proses “Memerintah” (Telling), karena gaya ini sangat ditandai dengan cara berkomunikasi satu arah. Pemimpin menetapkan peranan bawahannya; apa yang menjadu tugas mereka, bagaimana cara melaksanakannya, kapan dan dimana harus dilaksanakan. Pemecahan masalah dan pembuatan keputusan diprakarsai sendiri oleh sang pemimpin, dan pelaksanaannya diawasi ketat olehnya.
Prilaku pemimpin yang sangat mengarahkan dan juga sangat menumbuhkan dorongan semangat dinamakan sebagai proses “Mengajak” (Consulting), karena sang pemimpin pada gaya ini masih merupakan pemegang kendali hampir semua keputusan, namun mulai lebih banyak menggunakan cara berkomunikasi dua arah dengan bawahan dan mulai lebih banyak memberi dorongan semangat pada bawahan. Selain masih tetap melakukan pengawasan ketet terhadap bawahan, sang pemimpin juga sudah mulai lebih banyak meminta dan mendengar pendapat dan saran bawahan tentang keputusan-keputusan yang diambilnya, dan meminta (mengajak) mereka untuk membicarakannya.
Prilaku pemimpin yang kurang mengarahkan tapi sangat banyak memberikan dorongan semangat dinamakan sebagai proses “Melibatkan” (Participating), karena kendali pemecahan masalah dan pembuatan keputusan mulai lebih banyak dialihkan pada bawahan. Bawahan lebih banyak dilibatkan dalam proses pemecahan masalah dan pembuatan keputusan. Komunikasi dua arah semakin sering dilakukan, dan sang pemimpin lebih banyak mendengarkan dan membantu memberikan kemudahan dan kelancaran proses pemecahan masalah dan pembuatan keputusan yang dilakukan oleh bawahan. Gaya seperti ini memang tepat karena bawahan umumnya memang mampu dan memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas yang ada.
Prilaku pemimpin yang kurang mengarahkan dan juga kurang memberi dorongan semangat disebut sebagai proses “Melimpahkan” (Delegating), kerena pembuatan keputusan sudah sepenuhnya dilimpahkan kepada bawahan. Sang pemimpin hanya ikut mendiskusikan permasalahan saja sampai pada tingkat perumusan masalah. Pada taraf ini, bawahan benar-benar berwenang penuh untuk memutuskan bagaimana tugas-tugas mereka harus diselesaikan. Mereka diberi kebebasan untuk melaksanakannya “menurut cara mereka sendiri”, kerena mereka memang memiliki kemampuan maupun kepercayaan diri dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut.
TAK ADA SATUPUN GAYA KEPEMIMPINAN “TERBAIK”
Sekali dicapai suatu kesepakatan, keempat gaya kepemimpinan tersebut ditandai oleh gabungan-gabungan prilaku yang mengarahkan dan menumbuhkan dorongan semangat dalam berbagai tingkatannya, beberapa ahli (Robert, 1960: 227) pernah menyatakan, mestinya ada salah satu yang “terbaik” dari keempat gaya tersebut yang mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan, kepuasan manusia dan produktivitas sekaligus pada semua situasi. Namun, hasil-hasil penelitian selama beberapa dasawarsa terakhir kembali menegaskan kesimpulan, tak ada satupun gaya kepemimpinan terbaik. Para pemimpin yang berhasil adalah mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan situasi. (Wilian, 1966: 226)
Meskipun pendekatan situasional dalam kepemimpinan dirasaka perlu, namun hal itu tidak banyak membantu para pemimpin yang selama ini memang sudah memimpin, yang memang membuat keputusan-keputusan kepemimpinan setiap harinya. Jika memang “segalanya tergantung pada situasi” ini, mereka hanya perlu tahu kapan mesti menggunakan dan gaya yang mana?
Unsur-unsur situasional mempengaruhi suatu gaya kepemimpinan tertentu menjadi tepat-guna pada situasi yang dihadapinya, antara lain adalah unsur waktu, tuntutan tugas, iklim organisasi, atasan, kerabat kerja (rekan sejawat), serta ketrampilan dan harapan-harapan para bawahan. Meskipun faktor ini dan faktor-faktor lainnya, tidak diragukan lagi mempengaruhi keberdayahasilan suatu gaya kepemimpinan tertentu. Namun jika para pemimpin lebih dahulu menguji semua unsur situasi yang diajukan para ahli sebelum mereka memutuskan gaya kepemimpinan yang akan meraka gunakan, semuanya justru bisa tidak berlaku sama sekali. Inilah alasan mengapa Hersey dan Blanchard mendasarkan pendekatan “kepemimpinan situasional” mereka pada factor kunci yang mereka temukan memiliki pengaruh terbesar terhadap gaya kepemimpinan pada segala situasi, yakni faktor bawahan (anggota, pengikut). Pada dasarnya mereka menggunakan taraf prilaku mengarahkan atau mendorong semangat yang dilakukan oleh seoramg pemimpin bergantung pada taraf perkembangan bawahan dalam melakukan suatu tugas, peran, atau sasaran tertentu yang diberikan oleh sang pemimpin secara perseorangan maupun melalui kelolmpok.
TARAF PERKEMBANGAN YANG DIPIMPIN
Taraf perkembangan yang dimaksud di sini adalah kemampuan (ability) dan kemauan (willingness) bawahan untuk melakukan suatu tugas tanpa pengawasan. Kemampuan adalah suatu fungsi dari pengetahuan atau ketrampilan yang diperoleh dari pendidikan, latihan dan/atau pengalaman. Kemauan adalah suatu fungsi dari kepercayaan diri dan semangat.
Dari pembicaraan tentang taraf perkembangan seseorang penting dicamkan bahwa orang sama sekali tidak “berkembang sempurna” dan “tidak berkembang sama sekali”. Dengan kata lain, perkembangan seseorang bukanlah suatu konsep umum, tapi satu konsep yang khas. Itulah sebabnya dikatakan bahwa orang-orang yang cenderung berada pada berbagai tingkata atau taraf perkembangan yang berbeda-beda bergantung pada tugas, peranan, dan sasaran tertentu yang diberikan pada mereka.
Sebagai contoh, sebutlah seorang insinyur mungkin sangat berkembang (mampu dan mau) menangani soal-soal teknis dari suatu pekerjaan. Tapi tidak demikian halnya jika ia dihadapkan dengan soal-soal peraturan anggaran pekerjaan tersebut. Dengan demikian, sangat tepat bagi atasan sang insinyur dalam menghadapi bawahannya yang satu ini dengan sedikit mungkin pengarahan dan dorongan dalam hal pekerjaan teknik, tetapi dengan banyak pengarahan pengawasan ketat terhadap pekerjaan terhadap pekerjaan pengaturan anggaran yang dilakukan oleh sang insinyur. Jadi kepemimpinan situasional terutama berbicara tentang ketepatgunaan dan keberdayahasilan gaya pemimpin dalam kaitannya dengan taraf perkembangan bahawan dalam melaksanakan tugas yang sesuai. Gaya kepemimpinan “memerintah” yang kemudian menyampaikan (memerintahkan) bawahan untuk melakukannya dengan penjelasan terinci tentang apa, bagaimana, kapan dan dimana dilaksanakan.
Gaya kepemimpinan “mengajak” untuk tingkat perkembangan rendah ke sedang. Orang-orang tidak mampu tetapi maumemegang tanggung jawab suatu tugas adalah orang yang untuk taraf perkembangan rendah. Orang-orang yang tidak mampu dan tidak mau memegang tanggung jawab melakukan sesuatu adalah orang-orang yang tidak berkemampuan atau tidak percaya diri. Dalam banyak kasus, ketidakmampuan mereka akibat dari rasa tidak bisa (insecurity) atau karena kekurangan pengalaman dan pengetahuan yang diperlakukan untuk suatu tugas. Gaya kepemimpinan memerintah yang memberi pengarahan-pengarahan terinci dan pengawasan ketat adalah adalah gaya yang sangat efektif mungkin menghadapinya. Sekali lagi, gaya ini disebut gaya “memerintah” karena ditandai oleh penentuan peran bawahan yang dilakukan oleh sang pemimpin tidak percaya diri tetapi tak punya ketrampilan. Gaya kepemimpinan “mengajak” yang memberikan pengarahan terinci (karena sang bawahan tidak atau kurang terampil) tetapi juga memberi dorongan semangat dan kemauan yang lebih besar adalah gaya kepemimpinan yang paling tepat mengahadapinya. Gaya ini disebut “mengajak” karena mengerjakannya dengan caranya sendiri.
Karena “jagoan” seperti itu susah didapatkan dan mahal biayanya,banyak di antara kita masih tetap suka memilih yang kedua, membayar “calon-calon jagoan”. Dalam kenyataan, kecuali jika pemimpin memang sadar dan memahami fungsi latihan dalam pekerjaan, mereka selalu kecewa dan bingung, mengapa sang calon jagoan yang sudah dilatih itu ternyata kemudian tidak mampu mengerjakan tugasnya dengan baik. Kekecewaan inilah yang sering kali membuat banyak pemimpin terjerumus ke dalam suatu gaya kepemimpinan yang sangat umum dikenal sebagai gaya “biarkan saja”! Mereka membayar seseorang untuk memegang tanggung jawab tertentu; mengarahkan dengan jelas dan terinci yang mesti dikerjakan oleh orang tersebut, dan kemudian “meninggalkannya seorang diri dan menganggap pekerjaan akan berjalan lanca. Tanpa seorang “jagoan” yang mendapat limpahan wewenang sedimikian besar, anggapan ini sudah mengandung banyak kesalahan. Jika malah terjadi sebaliknya, yakni jika sang “jagoan” justru melakukan kesalahan dan tidak dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan oleh sang pemimpin, sang pemimpin yang kecewa ini dengan segera akan memberlakukan kembali gaya kepemimpinan yang serba mengerahakan dan bersifat menghukum dengan menuntut mengapa segala sesuatunya tidak berjalan dengan baik? Perubahan gaya kepemimpinan seperti ini bisa menjadikan sang pemimpin benar-benar kecewa dan bawahan bingung atau bahkan marah.
Untuk mencegah akibat buruk dari gaya “biarkan dia” dan untuk menjaga semangat kerja staf yang memang produktif dan memuaskan, sang pemimpin perlu mengetahui cara meningkatkan kemampuan bawahannya. Berikut ini lima langkah yang dapat digunakan untuk itu:
- Perintahkan padanya yang anda inginkan untuk dikerjakan. Anda tak akan bisa memimpin, kecuali jika bawahan anda memahami yang mesti mereka kerjakan, tanggung jawab yang dituntut dalam pekerjakan tersebut dan kepada siapa mereka harus bertanggung jawab.
- Tunjukkan padanya yang anda inginkan untuk dikerjakan olehnya. Sekali seorang mengetahui yang menjadi tanggung jawabnya dan kepada siapa dia mesti bertanggung jawab, dia pun butuh mengetahui hasil kerjanya nanti apakah berhasil atau gagal. Prilaku perintahkan dan tunjukkan adalah prilaku yang bersifat mengarahkan. Jadi, untuk meningkatkan kemampuan seorang bawahan yang potensial, umumnya dimulai dengan gaya kepemimpinan “memerintah“. Sepanjang bawahan belum mengetahui cara melaksanakan suatu tugas secara semestinya tanpa pengarahan dan pengawasan, proses pemecahan masalah dan pembuatan keputusan masih dalam kendali sang pemimpin.
- Biarkan mereka mencoba. Sekali bawahan tahu apa yang mesti dikerjakannya dan hasil yang diharapkan dari dia, saatnya sang pemimpin harus mulai berani mengambil resiko dan membiarkannya melakukan pekerjaan tersebut sesuai dengan caranya sendiri. Jika anda menempuh ini, anda mesti mengurangi sampai sedikit mungkin pengarahan padanya dan menyerahkan pekerjaan tersebut. Resikonya adalah dia mungkin merasa, kalau nanti dia berbuat salah mungkin anda tidak akan memberinya tanggung jawab itu lagi. Jadi jelaskan resiko tersebut kepadanya semasuk akal mungkin. Biarka mereka memahami sendiri, karena kesalahan yang terjadi tidak akan menghancurkan mereka sama sekali.
- Amati penampilan dan hasil kerja mereka. Jika anda sudah mencoba memberikan kesempatan pada bawahan untuk melakukan sendiri tugasnya, jangan langsung sepenuhnya memberlakukan gaya kepemimpinan “melimpahkan” dan kemudian meninggalkannya sama sekali bekerja sendiri. Karena gaya tersebut tidak banyak menolong dalam peningkatan produktivitas dan kepuasan hasil kerjanya. Artinya, sesudah anda memberinya yang mesti ia kerjakan, anda harus tetap mengamati penampilan dan hasil kerjanya. Unsur pokok dalam kepemimpinan gaya “memerintah” adalah pengawasan yang ketat, dalam artian melakukan monioing sesering mungkin.
- Tangani akibat-akibatnya. Alasan utama untuk melakukan pangawasan dan monitoring tersebut adalah untuk menangani berbagai akibat yang mungkin timbul. Akibat yang dimaksud adalah segala sesuatu yang menyertai suatu perbuatan. Ada tiga utama yang mungkin timbul:
- Akibat positif atau faktor yang menguatkan (reinforcer), yaitu segala sesuatu yang menyertai suatu hasil perbuatan yang cenderung lebih mendorong dan memungkinkan prilaku tersebut diulangi lagi. Misalnya memberikan imbalan usulan kenaikan ke jabatan yang lebih tinggi.
- Akibat negatif atau faktor melemahkan (punisher), yakni segala sesuatu yang menyertai suatu hasil perbuatan yang cenderung mengurangi kemungkinan yang diulanginya prilaku tersebut. Misalnya menyuruh melakukan kembali dengan memperbaiki kesalahan yang ada atau malah menurunkan bawahan yang bersangkutan ke tingkat yang lebiuh rendah.
- Akibat netral atau faktor yang tidak menguatkan maupun melemahkan. Kecuali jika bawahan melakukan sesuatu yang benar-benar bagus (dia akan melakukannya terus meskipun tanpa umpan balik dari orang lain), tidak ada tanggapan sama sekali secara perlahan-lahan akan mengurangi kemungkinan ia akan melakukan tarus hal itu.
Sebagaimana anda saksikan sendiri, hanya imbalan yang cenderung meningkat kemungkinan suatu prilaku dilakukan kembali yang merupakan akibat positif. Jadi, kunci untuk mengembangkan kemampuan dan kemauan kerja orang adalah menjadikan mereka tetap melakukan sesuatu yang baik. (Kenneth dan Spencer, 1962:235). Banyak pemimpin yanh justru membuat bawahannya melakukan sesuatu serba salah. Jadi anda pun perlu memahami, pada awal anda membina seorang bawahan agar menjadi seorang yang mampu dan mau, anda perlu membuatnya mengerjakan tugas-tugas kurang-lebih baik atau tak perlu benar-benar baik dulu. Tentu saja anda harus terus menhusahakan agar kemampuannya terus meningkat secara bertahap sampai ia benar-benar mencapai taraf terbaiknya.
Jika anda sudah memberikan kesempatan kepada seorang bawahan untuk melakukan sesuatu setelah “ mengarahkan dan menunjukkan“ caranya, segera andapun mengurangi prilaku anda yang serba mengarahkan. Dan jika anda kemudian mengamati, dia telah melakukan pekerjaannya dengan baik, anda harus segera tanggap untuk mulai lebih banyak memberikan dorongan semangat kepadanya.
Penggambaran arah perkembangan tersebut dalam bentuk anak-anak tangga bertingkat naik dan turun pada gambar di atas mengandung arti penurunan prilaku mengarahkan dan peningkatan prilaku memberi dorongan terus anda lakukan sampai sang bawahan mencapai taraf perkembangan sedang anda juga tetap jika secara bertahap mulai mengurangi prilaku mengarahkan dan juga prilaku menberi dorongan padanya. Pada saat dia mencapai taraf perkembangan tertinggi inilah sang bawahan tidak hanya mencapai kemampuan terbaiknya melakukan melakukan tugas, tetapi juga berarti ia memang telah menikmati imbalan kepuasan dari hasil kerjanya yang abik tersebut. Ini tidak lantas berarti pekerjaan sang bawahan menjadi lepas kendali sama sekali. Karena kendali pekerjaan tersebut sekaramh sudah menjadi bagian sebati (inheran) dengan dirinya sendiri, dan bukannya dipaksakan dari luar oleh sang pemimpin. Pada tingkatan ini, seseorang merasa mendapat imbalan positif yang setimpal terhadap hasil kerjanya jika mereka merasa diberi tanggung jawab lebih besar dan keleluasan untuk melakukan pekerjaannya menurut cara mereka sendiri. Ini pun tidak berarti tak ada lagi rasa saling percaya dan hormat antara sang pemimpin dengan sang bawahan (malah dalam kenyataannya justru semakin bertambah), tapi sekedar berarti sang pemimpin semakin berkurang peranannya dalam menciptakan suasana tersebut kepada seorang bawahan yang sudah sedemikian tinggi kemampuan dan kemauan kerjanya. (Skinner, 1953: 70).
Lebih dari sekedar membantu dan memberikan dukungan, anda pun akan menyaksikan orang-orang yang sudah mencapai taraf perkembangan seperti itu adalah orang-orang yang sangat percaya diri, sangat mampu, sangat bertanggung jawab, sangat bisa dipercaya dan memuaskan, jika dilibatkan dalam proses pemecahan masalah dan pembuatan keputusan. Semua inilah yang menjadikan mereka sebagai orang-orang yang suka mendengarkan dan meminta umpan balik dari orang lain untuk lebih membentuk kepercayaan dirinya, dorongan semangat, serta kemauan kerjanya.
Sebaliknya, jika anda terus saja berprilaku serba mengarahkan dan mengawasi ketat pekerjaan orang-rang seperti ini, anda akan menyaksikan bahwa anda telah salah langkah mengahdapi bawahan anda. Sangat mungkin anda tidak akan pernah melihatnya lagi sebagai orang yang penuh kepercayaan diri, berkemampuan, bertanggung jawab, dapat dipercaya dan memuaskan. Pada saatnya, perlakuan anda yang salah terhadapnya justru akan membalikkan sama sekali kemampuan hasil kerjanya. Jadi, aspek pengembangan kepemimpinan situasional dan kebutuhan untuk mengalihkan secara bertahap pengawasan dari luar yang bersifat mengarahkan menjadi pengendalian dari dalam diri sendiri yang bersifat mendorong adalah aspek paling kritis daripada pengembangan dan peningkatan kemampuan dan kemauan kerja bawahan.
Dalam pengembangan kemampuan bawahan, faktor picu yang melahirkan perubahan dalam gaya kepemimpinan adalah penampilan hasil kerja. Perbaikan dalam hasil kerja bergerak searah dengan pergeseran gaya kepemimpinan yang sesuai secara bertahap melalui jenjang anak tangga perkembangan. Ada satu hal penting yang anda harus ingat baik-baik, taraf pencapaian hasil terbaik dapat dicapai jika semua gaya kepemimpinan tersebut pernah dilalui dengan baik pula. Dengan kata lain, seorang bawahan yang tidak berpengalaman sekalipun sesungguhnya dapat mencapai taraf kemampuan terbaik seperti bawahan lain yang sangat berpengalaman, jika saja sang pemimpin mengarahkan dan mengawasinya secara ketat sejak awal sampai akhirnya ia mencoba peningkatan bertahap ke taraf yang lebih tinggi. Persoalannya, apa yang musti dikorbankan untuk itu? Jawabnya adalah waktu dan tenaga sang pemimpin. Kesimpulannya, kemampuan terbaik dicapai oleh seorang bawahan jika ia mampu melakukan pekerjaannya pada ukuran hasil yang diharapkan hanya dengan sedikit atau tanpa pengawasan sama sekali.
MENCEGAH KEMUNDURAN
Jika perbaikan atau peningkatan kemampuan dan kemauan seorang bawahan bergerak maju ke depan melalui anak tangga pada gambar di atas, sebaliknya penurunan kemampuan dan kemauan kerja mereka bergerak mundur ke belakang melalui anak-anak tangga yang dari. Dengan kata lain, pada saat tampak adanya gejala penurunan kemampuan dan kemauan kerja sang bawahan oleh berbagai sebab (misalnya: percekcokan di rumah tangganya, perubahan kondisi kerja dan lain-lain) sangat mendesak bagi sang pimpinan untuk juga menilai kembali perlakuannya terhadap bawahan yang bersangkutan sesuai dengan tingkat sesuai dengan tingkat perkembangan mundur yang dialaminya. Sebagai contoh, sebutlah anda seorang bawahan yang selama ini mampu menampilkan hasil kerja yang amat baik. Anggap saja secara tiba-tiba ia mengalami suatu perselisihan keluarga yang kemudian ikut mempengaruhi kerjanya. Pada situasi ini, sangat tepat bagi sang pemimpin untuk segera memberikan pengarahan dan dorongan semangat lagi secukupnya, sampai akhirnya ia kembali mencapai taraf kemampuan terbaiknya.
PENUTUP
Singkatnya, pemimpin yang berdayahasil mengetahui dengan baik keadaan para bawahannya dan cukup lues untuk berubah gaya kepemimpinannya menurut situasi yang ada. Dalam memberikan suatu tanggung jawab dan tugas-tugas kepada bawahan, baik secara perseorangan maupun kelompok, taraf perkembangan kemampuan dan kemauan kerja bawahan harus dipertimbangkan lebih dahulu. Seorang pemimpin mesti meragamkan gaya kepemimpinannya dalam menghadapi kebutuhan bawahan terhadap pengarahan dan dorongan serta semangat dirinya: mestilah dicamkan baik-baik, seorang atau sekelompok bawahan mengembangkan pola-pola prilaku mereka sendiri dan cara-cara mereka dalam melaksanakan sesuatu pekerjaan, termasuk norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan nilai-nilai. Meskipun seorang pemimpin menggunakan suatu gaya kepemimpinan yang khas pada sekelompok bawahan, ia mesti sadar memberlakukan gaya kepemimpinan yang berbeda pada setiap orang dalam kelompok tersebut, karena setiap orang selalu berbeda dalam taraf perkembangan kemampuan dan kemauan kerjanya masing-masing. Pergeseran gaya kepermimpinan bisa ditempuh dengan cara bergerak maju atau sebaliknya bergerak mundur yang mesti dilakukan secara bertahap menurut situasi yang ada. Inilah yang membuat pendekatan model kepemimpinan situasional sebagai suatu model perkembangan yang amat bermanfaat bagi sang pemimpin maupun sang bawahan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1998. Manajemen Nirlaba: Bacaan Utama, Jakarta: P3M.
Blanchard, Kenneth dan Spencer Johnson, 1962. The One Minute Manager. William Morrow.
Blake, Robert R. dan Jane S. Mouton, 1964. The Managerial Grid, Houston, Texas: Gulf Publishing.
Fiedler, Fred F. 1967. A Theory of Leadership Effectiviness, New York: Mc Graw Hill Book Company.
Herset, Paul dan Kenneth Blanchard. 1969. Life Cycle Theory of Leadership, dalam Training and Development Journal, Mei.
________ 1982. Management of Organization Behavior: Utilizing Human Resources (edisi 4), Englewood Cliffs: Prentice Hall Inc.
Reddin, William J. 1996. Managerial Effectiviness, New York: Mc Graw Hill Book Company, 1966.
Skinner, B. F. 1953. Science and Human Behaviour, New York: Mac Millan Company.
Stogill, Rogert M. dan Alvin E Coons. 1957. Leader Behaviour: its Description and Measurement, Research mongrafh No. 88, Colombus: Ohio State.
Tanembaun, Robert dan Warren H. Schmidt. 1957. How to Choose a Leadership Pattern, dalam Harvard Business Review.
[*] Mahasiswa Pascasarjana STAIN Tulungagung dan Penulis (Jurnal ini telah diterbitkan pada "Jurnal Tarbiyah" di STAIN Tulungagung edisi Juni 2011)