Kenapa Penggunaan kata Allah SWT dengan “KAMI†Dalam Al-Qur’an?
Seringkali orang kafir mencoba mengganggu iman kita dengan bertanya; mengapa al-Qur’an banyak menggunakan kata KAMI untuk Allah SWT? Bukankah kami itu banyak? Itu berarti al-Qur’an pun mengakui “Tuhan” bapa, “Tuhan” anak & “Tuhan” roh! Dan banyak juga mahasiswa atau orang awam yang bertanya demikian kepada saya. Contoh ayat:
“Kami Telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka, apabila kami menghendaki, kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka”. (Q.S Al-Insaan [76] : 28)
Bagaimana kita menjawab pertanyaan semacam ini?
Orang awam atau yang kurang paham bahasa arab sering terjebak dengan pertanyaan semacam ini. Pertanyaan bisa berawal dari tidak tahu, namun banyak pula para kufar yg berusaha untuk membodohi umat Islam yang banyak tidak faham dengan bahasa arab. Pertanyaan seperti ini sering dijadikan senjata melawan umat Islam.
A. Pendahuluan
Didalam kitab “Fatawa al Azhar” disebutkan bahwa sesungguhnya Al Qur’an al Karim diturunkan dari sisi Allah swt dengan bahasa arab yang merupakan bahasa Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dan diturunkan dengan tingkat balaghah dan kefasehan tertinggi. “Dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy Syu’araa’ [26] : 195)
Hal utama harus diingat ialah bahasa Arab adalah bahasa yang paling sukar didunia, (dan bahasa paling sukar kedua adalah bahasa China). Hal ini disebabkan karena dalam satu kata, bahasa arab bisa memiliki banyak makna, kandungan seni serta balaghah dan fashohah-nya
Contoh: Sebuah gender, dalam suatu daerah bisa bermakna lelaki, tapi dalam daerah lain bisa bermakna perempuan.
Dalam tata bahasa Arab, ada kata ganti pertama singular أنا (anâ), dan ada kata ganti pertama plural Ù†ØÙ† (nahnu). Sama dengan tata bahasa lainnya, akan tetapi dalam bahasa Arab kata ganti pertama plural dapat dan sering difungsikan sebagai singular. Dalam grammer Arab (nahwu-sharaf) hal demikian ini disebut “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i”, kata ganti pertama yang mengagungkan dirinya sendiri. Dhamir ‘nahnu’ ialah dalam bentuk jamak yang berarti kita atau kami. Tapi dalam ilmu ‘nahmu, maknanya tak cuma kami, tapi aku, saya dan lainnya.
Permasalahannya terjadi setelah al-Quran yang berbahasa Arab, dengan ke-khasan grammernya, diterjemahkan ke dalam bahasa lain termasuk Indonesia, yang tak mengenal “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i” tersebut. Akan tetapi setelah mengetahui perbedaan grammer ini, kejanggalan tersebut mudah-mudahan segera dapat dimengerti dan dimaklumi.
Bagaimana mungkin aqidah Islam yang sangat logis dan kuat itu mau ditumbangkan cuma dengan bekal logika bahasa yang setengah-setengah? Jika memang “kami” dalam al-Qur’an diartikan sebagai lebih dari satu, lalu mengapa orang arab yg jauh lebih faham akan bahasa arab tidak menyembah lebih dari satu Allah/Tuhan?
Dalam ilmu bahasa arab, penggunaan banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna dzahir dan apa adanya. Sedangkan Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi. Selain kata “Nahnu”, ada juga kata ‘antum’ yang sering digunakan untuk menyapa lawan bicara meski hanya satu orang. Padahal makna `antum` adalah kalian (jamak).
Secara rasa bahasa, bila kita menyapa lawan bicara kita dengan panggilan ‘antum’, maka ada kesan sopan dan ramah serta penghormatan ketimbang menggunakan sapaan ‘anta’.
Kata ‘Nahnu` tidak selalu bermakna banyak, tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini dipelajari dalam ilmu balaghah (bahasa krama inggil kalau kata orang jawa, bahasa sansekerta kata orang hindu, dan disebut juga dengan bahasa kerajaan).
Contoh: Dalam bahasa kita ada juga penggunaan kata “Kami” tapi bermakna tunggal. Misalnya seorang Kepala Sekolah dalam pidato sambutan berkata,”Kami sebagai kepala sekolah berpesan”. Padahal Kepala Sekolah hanya dia sendiri dan tidak banyak, tapi dia bilang “Kami”. Lalu apakah kalimat itu bermakna bahwa Kepala Sekolah sebenarnya ada banyak, atau hanya satu?
Merupakan suatu kebiasaan dikalangan orang-orang Arab bahwa seorang pembicara mengungkapkan tentang dirinya dengan menggunakan lafazh أنا (saya) dan jika terdapat orang lain bersamanya maka menggunakan lafazh Ù†ØÙ† (kami) sebagaimana lafazh Ù†ØÙ† (kami) digunakan si pembicara untuk mengagungkan dirinya sendiri. Pengagungan manusia terhadap dirinya sendiri dikarenakan dirinya memiliki berbagai daya tarik untuk diagungkan.
Bisa jadi hal itu dikarenakan dia memiliki jabatan, reputasi, kedudukan atau nasab lalu dia membicarakan tentang dirinya itu sebagai bentuk keagungan dan kebesaran. Bisa jadi juga untuk memberikan perasaan takut didalam hati orang lain seakan-akan dirinya sebanding dengan beberapa orang bukan dengan hanya satu orang. Bisa jadi seseorang mengungkapkan dirinya dengan lafazh Ù†ØÙ† (kami) karena begitu banyak keahliannya seakan-akan beberapa orang ada didalam diri satu orang. Sehingga bentuk plural dan jama’ itu adalah pada pengaruhnya bukan pada si pemberi pengaruh.
Kata “kami” dalam hal ini digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan nilai kesopanan. Tapi rasa bahasa ini mungkin tidak bisa diserap oleh orang awam yang tidak mengerti rasa bahasa atau mungkin juga karena di Negara Barat tidak lazim digunakan kata-kata seperti itu. Kalau umat khristiani tidak bisa faham rasa bahasa ini, harap maklum saja, karena alkitab bible mereka memang telah kehilangan rasa bahasa. Bahkan bukan hanya kehilangan rasa bahasa, tapi juga kehilangan kesucian sebuah kitab suci. Seperti yg sudah diketahui banyak orang, alkitab Khristiani merupakan terjemahan dari terjemahan yang telah diterjemahkan dari terjemahan sebelumnya.
Ada sekian ribu versi bible yang antara satu dan lainnya bukan saja tidak sama tapi juga bertolak belakang. Jadi wajar bila alkitab khristiani mereka itu tidak punya balaghah, logika, rasa dan gaya bahasa. (Tanpa mengurangi rasa hormat) alkitab khristiani adalah tulisan karya manusia yang kering dari nilai sakral.
Di dalam Al-Quran ada penggunaan yang kalau kita pahami secara harfiyah akan berbeda dengan kenyataannya. Misalnya penggunaan kata ‘ummat’. Biasanya kita memahami bahwa makna ummat adalah kumpulan dari orang-orang. Minimal menunjukkan sesuatu yang banyak. Namun Al-Quran ketika menyebut Nabi Ibrahim a.s yang saat itu hanya sendiri saja, tetap disebut dengan ummat.
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam (pemimpin ummat) yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif [Hanif Maksudnya: seorang yang selalu berpegang kepada kebenaran dan tak pernah meninggalkannya] dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan) (QS. An-Nahl [16] : 120)
B. Konteks Penggunaan Pertama
Kata “Kami” bermakna bahwa dalam mengerjakan tindakan tersebut, Allah melibatkan unsur-unsur makhluk (selain diri-Nya sendiri). Dalam kasus nuzulnya/turunnya al-Qur’an, makhluk-makhluk yang terlibat dalam pewahyuan dan pelestarian keasliannya adalah sejumlah malaikat, terutama Jibril; kedua Nabi sendiri; ketiga para pencatat/penulis wahyu; keempat, para huffadz (penghafal) dll. (Coba perhatikan baik-baik, kebanyakan ayat-ayat yang bercerita tentang turunnya al-Qur’an [dalam format kalimat aktif], Allah cenderung menggunakan kata Kami). Contoh ayat:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya [ayat Ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya]”. (Q.S Alhijr [15] : 9)
Ketika Al-Qur’an di turunkan kepada Rasulullah SAW dan sampai saat ini hingga hari kiamat kelak, tak satu hurufpun yang berubah, hal ini sudah cukup menjadikannya Penghulu Para Nabi dan Rasul. Dan ketika ajarannya (Al-Qur’an) banyak terdapat ilmu pengetahuan maka itu sudah cukup menjadi selendang kebesarannya. Dan apabila suatu kejadian yang di terangkan oleh Al-Qur’an pada masa turunnya wahyu tersebut dan wahyu tersebut di uji secara ilmiah pada masa kini dan sama baiknya hasil yang di peroleh dari keterangan ayat-ayat Al-Qur’an itu, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk menolak ajarannya.
“Dan kami Telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya”. (Q.S Alhijr [15] : 20)
Ketika Sulaiman menghampiri seekor semut dan memasukannya kedalam sebuah wadah dan memberi makan dengan sebiji gandum. Maka setelah beberapa hari berlalu dia dapati sebiji gandum tinggal setengahnya maka berkatalah Sulaiman “Mengapa engkau tidak menghabiskan makananmu?” Semut berkata “Aku takut menghabiskannya dalam keadaanku seperti ini, berlainan dengan keadaanku di luar aku tidak ragu kepada Rabbku.” Jawab Semut.
“Dan kami Telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan kami turunkan hujan dari langit, lalu kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya”. (Q.S Alhijr [15] : 22)
Teknologi yang ada saat ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa angin memang terlibat di dalam penyerbukan pada proses pembuahan tumbuh-tumbuhan. (Setiap Proses yang melibatkan mahkluk-Nya Allah SWT menggunakan kata ganti KAMI). Semua ayat dan surat dalam al-Qur’an saling berkaitan, maka sebelum memahami al-Qur’an pelajari dulu bahasa al-Qur’an, yakni bahasa Arab.
Terkadang Allah Swt. menggunakan kata “AKU”, “ALLAH“, DIA” didalam Al Qur’an (dalam bahasa Arab adalah “ANA” juga “INNI” atau kata kerja yang diakhiri dengan huruf “TU”, atau juga langsung dengan lafadz “Allah” sendiri, begitu pula dengan kata “Dia” / “Huwa” dalam bahasa Arab). Contoh:
أَوَلَمْ يَرَوْا Ø£ÙŽÙ†ÙŽÙ‘ اللَّهَ الَّذÙÙŠ خَلَقَ السَّمَاوَات٠وَالأرْضَ قَادÙرٌ عَلَى أَنْ يَخْلÙÙ‚ÙŽ Ù…ÙثْلَهÙمْ وَجَعَلَ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ أَجَلا لا رَيْبَ ÙÙيه٠Ùَأَبَى الظَّالÙÙ…Ùونَ Ø¥Ùلا ÙƒÙÙÙورًا
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Allah yang menciptakan langit dan bumi adalah kuasa (pula) menciptakan yang serupa dengan mereka, dan telah menetapkan waktu yang tertentu bagi mereka yang tidak ada keraguan padanya? Maka orang-orang zalim itu tidak menghendaki kecuali kekafiran.” (Al-Israa’ [17] : 99)
Dengan maksud suatu penciptaan yang tidak melibatkan makhluk manapun, umumnya Allah Swt mengatakan “ANA” / “INNI” (AKU) atau juga “HUWA” (DIA) bisa juga lafadz “ALLAH” sendiri. “menunjukkan” hanya allah swt sendiri yang menciptakan, tidak ada unsur lain atau makhluk lain (sekutu) yg membantu penciptaan-Nya. maknanya menunjukkan kekuatan-Nya yang Maha Dahsyat. tidak ada makhluk satupun yang dapat menyamai Keagungan & Kekuatan Penciptaan-Nya Yang Luar Biasa.
C. Konteks Penggunaan Kedua
Ayat yang menggunakan kata Kami biasanya menceritakan sebuah peristiwa
besar yang berada di luar kemampuan jangkauan nalar manusia, seperti penciptaan Adam,
penciptaan bumi, dan langit. Di sini, selain peristiwa itu sendiri yang nilai besar,
Allah sendiri ingin menokohkan/memberi kesan “Ke-MAHA-an-Nya” kepada manusia, agar
manusia dapat menerima/mengimani segala sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar/rasio manusia. Contoh:
Sesungguhnya kami Telah menciptakan kamu (Adam), lalu kami bentuk tubuhmu, Kemudian kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali iblis. dia tidak termasuk mereka yang bersujud. (Q.S al-A’raaf [7] : 11)
Jika ada orang kufar berani mengganggu iman Islam, maka katakanlah yg haq itu haq & katakan pula yg bathil itu bathil. Sampaikanlah dengan hikmah & cara yg baik. Sebagaimana dalam ayat dibawah ini:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka [yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim ialah: orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan], dan Katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami Hanya kepada-Nya berserah diri". (Q.S al-‘Ankabuut [29] : 46)
-Wallahu a’lam bisshowab-