Alasan Syi’ah Halal Nikah Mut’ah
Definisi Nikah Mut’ah:
Ketika menafsirkan ayat 24 surah al-Nisa’-seperti akan disebutkan di bawah nanti, Al-Khazin (salah seorang Mufasir Sunni) menjelaskan difinisi nikah mut’ah sebagai berikut, “Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selasai dengan memastikan kesuciaannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya_pen), dan tidak ada hak waris antara keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw.” [1] Dan nikah Mut’ah dalam pandangan para pengikut Ahlulbait as. adalah seperti difinisi di atas.
Ùَمَا اسْتَمْتَعْتÙمْ بÙÙ‡Ù Ù…ÙنْهÙنَّ ÙَآتÙوْهÙنَّأÙجÙوْرَهÙنَّ ÙَرÙيْضَةً … (النساء:24
Ùَمَا اسْتَمْتَعْتÙمْ بÙÙ‡Ù Ù…ÙنْهÙنَّ – إلَى أَجَل٠مÙسَمَّى- ÙَآتÙوْهÙنَّ Ø£ÙجÙوْرَهÙنَّ ÙَرÙيْضَةً
Catatan:
Perlu Anda cermati di sini bahwa dalam ayat di atas Allah SWT berfirman menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan sahabat-sabahat Nabi suci saw. dan membimbing mereka akan apa yang harus mereka lakukan dalam praktik yang sedang mereka kerjakan. Allah SWT menggunakan kata kerja bentuk lampau untuk menunjuk apa yang telah mereka kerjakan: اسْتَمْتَعْتÙمْ, dan ia bukti kuat bahwa para sahabat itu telah mempraktikan nikah mut’ah. Ayat di atas sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam bermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat, seperti akan disinggung nanti. Itu artintya mereka mengakui bahwa ayat di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah!
Ùˆ الذين Ù‡Ùمْ Ù„ÙÙÙرÙوْجÙÙ‡Ùمْ ØاÙÙظÙونَ إلاَّ علىَ أَزْواجÙÙ‡Ùمْ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانÙÙ‡Ùمْ، ÙÙŽØ¥ÙنَّهÙمْ غير٠مَلÙوْمÙيْنَ. (المؤمنون:5-6
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang tiada tercela.” (QS:23;5-6) Keterangan Ayat:
Dalam pandangan mereka ayat di atas menerangkan bahwa dibolehkan/ dihalalkanya menggauli seorang wanita karena dua sebab; pertama, hubungan pernikahan (permanen).Kedua, kepemilikan budak.
Sementara itu kata mereka wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah, bukan bukan seorang istri.
Tanggapan:
Pertama-tama yang perlu difahami ialah bahwa mut’ah adalah sebuah ikatan pernikahan dan perkawinan, baik dari sudut pandang bahasa, tafsir ayat maupun syari’at, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi ia sebenarnya dalam keumuman ayat di atas yang diasumsikan sebagai pemansukh, tidak ada alasan yang membenarkan dikeluarkannya dari keumuman tersebut. Kata Azwaajihim dalam ayat di atas mencakup istri yang dinikahi baik dengan akad nikah daim (permanent) maupun akad nikah Mut’ah.
Kedua, selain itu ayat 5-6 Surah Mu’minun (sebagai pemansukh) berstatus Makkiyah (turun sebelum Hijrah) sementara ayat hukum Mut’ah (ayat 24 surah al-Nisa’) berstatus Madaniyah (turun setelah Hijrah). Lalu bagaimana mungkin ayat Makkiyah yang turun sebelum ayat Madaniyah dapat memansukhkannya?! Ayat yang memansukh turun lebih dahulu dari ayat yang sedang dimansukhkan hukumnya. Mungkinkah itu?!
- Mereka mengatakan bahwa nikah ini telah dimansukhkan dengan ayat إلاَّ علىَ أَزْواجÙÙ‡Ùمْ … atau ayat-ayat lain atau dengan riwayat-riwayat yang mereka riwayatkan bahwa Nabi saw. telah memansukhnya setelah sebelumnya pernah menghalalkannya. Bukankah ini semua bukti kuat bahwa Mut’ah itu adalah sebuah akad nikah?! Bukankah itu pengakuan bahwa wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah itu adalah seorang istri, zawjah?! Sekali lagi, terjadinya pemansukhan -dalam pandangan mereka- adalah bukti nyata bahwa yang dimansukh itu adalah nikah!
- Tafsiran para ulama dan para mufassir Sunni terhadap ayat surah An Nisaa’ bahwa yang dimaksud adalah nikah Mut’ah adalah bukti nyata bahwa akad Mut’ah adalah akad nikah dalam Islam.
- Nikah Mut’ah telah dibenarkan adanya di masa hidup Nabi saw. oleh para muhaddis terpercaya Sunni, seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud dll.
- Ada ketetapan emas kawin, mahar dalam nikah Mut’ah adalah bukti bahwa ia adalah sebuah akad nikah. Kata Ø£ÙجÙوْرَهÙنَّ (Ujuurahunna=mahar mereka). Seperti juga pada ayat-ayat lain yang berbicara tentang pernikahan.
ÙˆÙŽÙ„ÙŽÙƒÙمْ Ù†ÙصْÙ٠ما تَرَكَ أَزْواجÙÙƒÙمْ. (النساء:12
DanÙˆÙŽ Ø¥Ùذا طَلَّقْتÙم٠النÙساءَ ÙَطَلّÙÙ‚ÙوهÙنَّ Ù„ÙعÙدَّتÙÙ‡Ùنَّ. (الطلاق:1
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaknya kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (QS65;1)
Ringkas syubhat mereka dalam masalah ini ialah bahwa seorang istri itu dapat mewarisi suaminya, dan dapat diceraikan dan baginya hak mendapatkan nafkah dari suami. Semua ini adalah konsekuensi ikatan tali pernikahan. Sementara itu, dalam kawin Mut’ah hal itu tidak ada, seorang istri tidak mewarisi suaminya, dan hubungan itu berakhir dengan tanpa talak/tidak melalui proses penceraian, dan tiada atas suami kewajiban nafkah. Maka dengan memperhatikan ini semua Mut’ah tidak dapat disebut sebagai akad nikah, dan wanita itu bukanlah seorang istri!
- Syarat yang diberlakukan dalam akad Mut’ah sama dengan yang diberlakukan dalam nikah daim (permanent), sebagimana dalam nikah daim disyaratkan beberapa syarat, seperti, harus baligh, berakal (waras jiwanya), bukan berstatus sebagai hamba sahaya, harus ada saling rela, dan …demikian pula dalam nikah Mut’ah tanpa ada sedikitpun perbedaan. Adapun masalah talak, dan saling mewarisi, misalnya, ia bukan syarat sahnya akad pernikahan… ia adalah rentetan yang terkait dengannya dan tetap dengan tetap/sahnya akad itu sendiri. Oleh sebab itu hal-hal di atas tidak disebutkan dalam akad. Ia berlaku setelah terjadi kematian atau penceraian. Seandainya seorang istri mati tanpa meninggalkan sedikitpun harta waris, atau ia tidak diceraikan oleh suaminya hingga ia mati, atau suami menelantarkan sebagian kewajibannya, maka semua itu tidak merusak kebashan akad nikahnya. Demikian pula tentang nafkah dan iddah.
- Redaksi akad yang dipergunakan dalam nikah daim tidak berbeda dengan yang dipergunakan dalam nikah Mut’ah, hanya saja pada Mut’ah disebutkan jangka waktu tertentu.
- Antara dua ayat yang disebutkan dengan ayat Mut’ah tidak ada sedikit pertentangan. Anggapan itu hanya muncul karena ketidak fahaman semata akan batasan Muthlaq (yang mutlak tanpa ikatan) dan Muqayyad (yang diikat), yang umum dan yang khusus. Karena sesungguhnya ayat Mut’ah itu mengkhususkan ayat tentang pewarisan dan talak.
- Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan akad nikah Mut’ah itu bukan seorang istri, maka anggapan itu tidak benar karena:
- Sebab pewarisan itu bukanlah konsekuensi yang berlaku selamanya dalam pernikahan, yang tidak dapat berpisah sama sekali. Di sana ada pengecualian- pengecualian. Seorang wanita ditetapkan sebagai istri namun demikian ia tidak mewairisi suaminya, seperti seorang istri yang berbeda agama (Kristen misalnya) dengan suaminya (Muslim), atau istri yang membunuh suaminya, atau seorang wanita yang dinikahi seorang laki-laki dalam keadaan sakit kemudian suami tersebut mati sebelum sempat berhubungan badan dengannya, atau apabila istri tersebut berstatus sebagai budak sahaya… bukankan dalam contoh kasus di atas wanita itu berstatus sebagai isri, namun demikian -dalam syari’at Islam- ia tidak mewarisi suaminya.
- Ayat tentang warisan (ayat 12 surah An Nisaa’) adalah ayat Makkiyah sementara ayat Mut’ah adalah madaniyah. Maka bagaimana mungkin yang menasakh turun lebih dahulu dari yang dimansukh?!
- Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab tidak ada keharusan atas suami untuk memberi nafkah, maka anggapan ini juga tidak tepat, sebab: (1) Nafkah, seperti telah disinggung bukan konsekusensi pasti/tetap berlaku selamanya atas seorang suami terhadap istrinya. Dalam syari’at Islam, seorang istri yang nasyizah (memberontak kepada suaminya, tidak mau lagi berumah tangga), tiada kewajiban atas suami memberinya nafkah. Demikian disepakati para ulama dari seluruh mazhab. (2) Dalam akad Mut’ah sekali pun, kewajiban nafkah tidak selamanya gugur. Hal itu dapat ditetapkan berdasarkan syarat yang disepakati antara keduannya. Demikian diterangkan para fuqaha’ Syi’ah.
- Perceraian bukan satu-satunya yang merusak akad penikahan. Seorang istri dapat saja berpisah dengan suaminya dengan tanpa perceraian, seperti pada kasus, apabila istri tersebut murtad, atau apabila ia seorang hamba sahaya kemudian ia dijual oleh tuannya, atau istri yang masih kanak-kanak, kemudian istri suami tersebut menyusuinya (sehingga ia menjadi anak susunya), atau ketika ibu suami itu menyusui anak istrinya… Atau istri seorang laki-laki yang murtad, atau istri yang terbukti terdapat padanya cacat, ‘uyuub yang menyebabkan gugurnya akad nikah, seperti apabila istri itu ternyata seorang wanita gila dan …. Bukankah dalam semua kasus di atas istri itu berpisah dari suaminya tanpa melalui proses talak?!
- Seorang wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah tidak berarti selamanya menjadi monopoli suami itu yang tidak akan pernah bisa berpisah. Dalam nikah Mut’ah ketetapan tentang waktu berada di tangan si wanita dan pria itu. Merekalah yang menetukan jangka waktu bagi pernikahan tersebut.
- Kedua ayat itu tidak mungkin dapat menasikhkan hukum nikah Mut’ah yang disepakati kaum Muslim (Sunni-Syi’ah) akan adanya di awal masa Islam.
- Dan saya cukupkan dengan memaparkan contoh-contoh ayat yang diasumsikan sebagai penasakh hukum nikah Mut’ah yang telah ditetapkan dalam Ayat Mut’ah (ayat 24 surah An Nisaa’).
Hukum Nikah Mut’ah Tidak Pernah Dimansukhkan
يَا أَيّÙها الذÙيْنَ آمَنÙوا لاَ تÙØَرّÙÙ…Ùوا طَيّÙبات٠ما Ø£ÙŽØَلَّ الله٠لَكÙمْ ÙˆÙŽ لاَ تَعْتَدÙوا، Ø¥Ùنَّ اللهَ لا ÙŠÙØÙبّ٠المعْتَدÙÙŠÙÙ†ÙŽ.
- Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hasan ibn Muhammad dari Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn Al-Akwa’ keduanya berkata: “Kami bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah rasul (utusan) Rasulullah sa., ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengizinkan kalian untuk menikah mut’ah, maka bermut’ahlah kalian.”
- Muslim meriwayatkan dari Atha’, ia berkata: “Jabir ibn Abdillah datang untuk umrah, lalu kami mendatanginya di tempat tinggalnya dan orang-orang bertanya kepadanya banyak masalah, kemudian mereka menyebut-nyebut mut’ah, maka Jabir berkata, “Kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.” [13]
- Dari Abu Bashrah, ia berkata, “Aku berada di sisi Jabir lalu datanglah seseorang dan berkata, ” Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih tentang dua jenis mut’ah”. Jabir berkata,” Kami melakukannya bersama Rasululah saw., kemudian Umar melarang melaksanakan keduanya, maka kami tidak kembali (melakukannya) lagi.” [14]
- Abu Zubair berkata, “Aku mendengar Jabir ibn Abdillah berkata: “Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.” [15]
Jelaslah bahwa maksud Jabir dengan ucapannya bahwa “Kami bermut’ah di masa Rasulullah…”, “Kami melakukannya bersama Rasululah saw” bukanlah bahwa saya sendirian melakukannya hanya sekali saja, akan tetapi ia hendak menjelaskan bahwa kami (saya dan rekan-rekan sahabat Nabi saw.) melakukannya banyak kali, dan dengan sepengetahuan Nabi saw., beliau membenarkannya dan tidak melarangnya sampai beliau dipanggil Allah SWT ke alam baqa’. Dan ini adalah bukti kuat bahwa tidak pernah ada pengharaman dari Allah dan Rasul-Nya, nikah mut’ah tetap halal hingga hari kiamat, sebab “halalnya Muhammad saw. adalah halal hingga hari kiamat dan haramnya Muhammad adalah haram hingga hari kiamat”, kecuali jika kita meyakini bahwa ada nabi baru setelah Nabi Muhammad saw dan ada wahyu baru yang diturunkan Jibril as. setelah sempurnanya agama Islam.
Adapun arahan sebagian ulama, seperti al-Nawawi yang mengatakan bahwa para sahabat mulia itu mempraktikan nikah mut’ah di masa hidup Nabi saw. dan juga di masa kekhalifahan Abu Bakar dan beberapa tahun masa kekhalifahan Umar itu dikarenakan mereka belum mengetahui pemansukhan hukum tersebut, adalah ucapan tidak berdasar, sebab bagaimana mungkin pemansukhan itu samar atas para sahabat itu -dan tidak jarang dari mereka yang dekat persahabatannya dengan Nabi saw.-, sementara pemansukhan itu diketahui oleh sahabat-sabahat “cilik” seperti Abdullah ibn Zubair atau yang lainnya?!
Bagaimana mungkin juga hukum pengharaman mut’ah itu juga tidak diketahui oleh Khalifah Umar, sehingga ia membiarkan praktik nikah mut’ah para sabahat, dan baru sampai kepadanya berita pemansukhan itu di masa akhir kekhalifahannya?! Ketika menerangkan ucapan Jabir, “sampai Umar melarangnya”, Al-Nawawi berkata, “Yaitu ketika sampai kepadanya berita pemansukhan.”[16]
Selain itu jelas sekali dari ucapan Jabir bahwa ia menisbatkan pengharaman/ larangan itu kepada Umar “sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits”. Jadi larangan itu bukan datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya, ia datang dari Khalifah Umar dalam kasus Amr ibn Huraits. Umar sendiri seperti telah Anda baca dalam pidatonya menegakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada di masa Rasululah saww. dan beliau menghalalkannya, namun ia (Umar) melarangnya!
Coba Anda perhatikan hadis di bawah ini: Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al-Kubranya dari Abu Nadhrah dari Jabir ra.:
Dan selain hadis yang telah disebutkan di atas masih banyak hadis-hadis lain yang sengaja saya tinggalkan, sebab apa yang telah disebut sudah cukup mewakili.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan, “Imam Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah dibolehkan kemudian dimansukhkan kemudian dibolehkan kemudian dimansukhkan, dua kali.” [19]
Kedua, hadis-hadis yang disahihkan oleh para ulama Ahlusunnah, namun pada dasarnya ia tidak sahih, ia lemah bahkan sangat kuat kemungkinan ia diproduksi belakangan oleh para sukarelawan demi mencari “keridhaan Allah SWT”, hasbatan, untuk mendukung dan membenarkan kebijakan para khulafa’.
Dan untuk membuktikan hal itu saya perlu melakukan uji kualitas kesahihan hadis sesuai dengan kaidah-kaidah yang dirancang para pakar dan ulama.
Para muhaddis meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghiffari ra. bahwa ia berkata:
Dalam riwayat lain: “Aku menyaksikan Rasulullah berdiri diantara rukun dan maqam (dua sudut ka’bah) sambil bersabda…. (seperti sabda di atas)”. [26]
Dalam riwayat lain: “Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada fathu Mekkah”. [32]
Pertama,
ia dari riwayat Zuhri, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Az Zuhri lahir pada tahun 58 H dan wafat tahun 124H. Ia dekat sekali dengan Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik dan pernah dijadikan qodhi (jaksa) oleh Yazid bin Abdul Malik. Ia dipercaya Hisyam menjadi guru private putra-putra istana. Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib-nya [36] menyebutkan, “Hisyam memerintahnya untuk mengajarkan kepada putra-putranya hadis, lalu ia mendektekan empat ratus hadis”.
terlepas dari penilaian kita terhadap kualitas salah satu mata rantai perawi dalam hadis tersebut yang telah Anda baca, maka di sini ada beberapa catatan yang perlu Anda perhatikan. Pertama: Dalam hadis tersebut ditegaskan bahwa Imam Ali as. menegur dan menyebut Ibnu Abbas ra. sebagai seorang yang menyimpang karena ia masih menghalalkan nikah mut’ah padahal nikah tersebut telah diharamkan pada peristiwa peperangan Khaibar. Selain nikah mut’ah, daging keledai jinak juga diharamkan saat itu. Jadi menurut Imam Ali as. keduanya diharamkan pada peristiwa tersebut.
Selain itu, dalam peristiwa penyerangan ke kota Khaibar, tidak seorangpun dari sahabat Nabi saw. yang bermut’ah dengan wanita-wanita yahudi, dan mereka tidak juga memohon izin kepada Nabi saw. untuk melakukannya. Tidak seorangpun menyebut-nyebut praktik sabahat dan tidak ada sebutan apapun tentang mut’ah. Di kota Khaibar tidak ada seorang wanita muslimahpun sehingga sah untuk dinikahi secara mut’ah, sementara dihalalkannya menikah dengan wanita yahudi itu belum disyari’atkan, ia baru disyari’atkan setelah haji wada’ dengan firman Allah ayat 5 surah al-Maidah. Demikian ditegaskan Ibnu Qayyim dalam Zaad al-Ma’aad. [40]
“Saya menghormati Zaid dan ‘Amr pada hari jum’at”
maka semua orang yang mendengarnya akan memahami bahwa penghormatan kepada keduanya itu terjadi dan dilakukan pada hari jum’at.
أَكْرَمْت٠زَيْدًا Ùˆ أَكْرَمْت٠عَمْروًا يَوْمَ الجمعةÙ
“Saya menghormati Zaid , dan saya menghormati ‘Amr pada hari jum’at”.
Dalam riwayat itu kata kerja nahaa itu hanya disebut sekali, oleh karena itu ia mesti terkait dengan kedua obyek yang disebutkan setelahnya. Dan saya tidak yakin bawa para ulama itu tidak mengerti kaidah dasar bahasa Arab ini.
Ù†ÙŽÙ‡ÙŽÙ‰ رسول٠الله٠(ص) عن Ù…Ùتْعَة٠النساءيَومَ خيْبَر، Ùˆ عن Ù„ÙØÙوم٠الØمر٠الإنْسÙيَّةÙ.
Bagaimana kita dapat benarkan riwayat-riwayat kisah pengharaman itu baik di hari Khaibar maupun hari dan kesempatan lainnya, sementara telah datang berita pasti dan mutawatir bahwa Khalifah Umar ra. berpidato mengatakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada dan berlaku di masa hidup Nabi saw. akan tetapi saya (Umar) melarang, mengharamkan dan merajam yang melakukan nikahnya:
Ù…Ùتْعَتان٠كانَتَا على عَهْد٠رَسÙول Ùالله٠أنا أَنْهَى عَنْهÙما ÙˆÙŽ Ø£ÙعاقÙب٠عليهÙما : Ù…Ùتْعَة٠الØج Ùˆ متعة النّÙسَاءÙ.
“Ada dua bentuk mut’ah yang keduanya berlaku di sama Rasulullah saw., aku melarang keduannya dan menetepkan sanksi atas (yang melaksanakan) keduanya: haji tamattu’ dan nikah mut’ah. [47]
Bagaimana kita dapat menerima riwayat hadis-hadis yang mengatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan di masa Nabi saw. oleh beliau sendiri, sementara itu Khalifah Umar tidak pernah mengetahuinya, tidak juga Khalifah Abu Bakar dan tidak juga para sahabat dan tabi’in mengetahuinya, bahkan sampai zaman kekuasaan Abdullah ibn Zubair -setelah kematian Yazid ibn Mu’awiyah- dan tidak juga seorang dari kaum Muslim mengetahui riwayat-riwayat sepeti itu. Andai mereka mengetahuinya pasti ia sangat berharga dan sangat mereka butuhkan dalam mendukung pendapat mereka tentang pengharaman nikah mut’ah tersebut.
Dan pastilah para pendukung kekhalifahan akan meresa mendapat nyawa baru untuk membela diri dalam pengharaman sebagai tandingan bukti-bukti sunah yuang selalu di bawakan sahabat-sabahat lain yang menhalalkan nikah mut’ah seperti Ibnu Abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan Jabir, misalnya.
Dalam perdebatan yang terjadi antara pihak yang mengharamkan dan pihak yang menhalalkan mereka yang mengharamkan tidak pernah berdalil bahwa Rasulullah saw. telah mengharamkannya di Khaibar… atau pada peristiwa penaklukan kota Mekkah dan lain sebaigainya. Bagaimana mungkin hadis Imam Ali as. dapat kita terima sementara kita menyaksikan bahwa beliau bersabda:
,لَوْ لاَ أَنَّ عÙمر Ù†ÙŽÙ‡ÙŽÙ‰ الناسَ عَن٠المÙتْعَة٠ما زَنَى إلاَّ Ø´ÙŽÙ‚Ùيٌّ.
“Andai bukan karena Umar melarang manusia melakukan nikah mut’ah pastilah tidak akan berzina kecuali orang yang celaka”.Demikian disebutkan ar Razi dari al-Thabari. [50]
Dan Muttaqi al-Hindi meriwayatkan dari Imam Ali as. beliau bersabda:
لَوْ لا ما سَبَقَ Ù…Ùنْ نَهْي٠عÙمر بن الخطاب لأَمَرْت٠بالمÙنْعَةÙØŒ Ø«Ùمَّ ما زنى إلا شقي
“Andai bukan karena Umar ibn Khaththab sudah melarang nikah mut’ah pastilah akan aku perintahkan dengannya dan kemudian tidaklah menlakukan zina kecuali orang yang celaka”. [51]
Bagaimana mungkin kita menerima riwayat para ulama itu dari Imam Ali as. yang menegur Ibnu Abbas ra. sementara kita menyaksikan Ibnu Abbas adalah salah satu sahabat yang begitu getol menyuarakan hukum halalnya nikah mut’ah, beliau siap menerima berbagai resiko dan teror dari Abdullah ibn Zubair pemberontak yang berhasil berkuasa setelah kematian Yazid?
Apakah kita menuduh bahwa Ibnu Abbas ra. degil, angkuh menerima kebenaran yang disampaikan maha gurunya; Imam Ali as. sehingga ia terus saja dalam kesesatan pandangannya tentang halalnya nikah mut’ah? Adapun dongeng-dengeng yang dirajut para sukarelawan bahwa Ibnu Abbas bertaubat dan mencabut fatwanya tentang halalnya nikah mut’ah, adalah hal menggelikan setelah bukti-bukti tegak dengan sempurna bahwa ia tetap hingga akhir hayatnya meyakini kehalalan nikah mut’ah dan mengatakannya sebagai rahmat dan kasih sayang Allah SWT untuk hamb-hamba-Nya:
ما كانَتْ المÙتْعَة٠إلاَّ رَØْمَةً رَØÙÙ…ÙŽ الله٠بÙها Ø£Ùمَّةَ Ù…Øمد (ص)ØŒ لَوْ لاَ نَهْيÙÙ‡Ù (عمر) ما اØْتاجَ إلى الزنا إلاَّ شقÙÙŠ
Tiada lain mut’ah itu adalah rahmat, dengannya Allah merahmati umat Muhammad saw., andai bukan karena larangan Umar maka tiada membutuhkan zina kecuali seorang yang celaka. [52]
Bagaimana dongeng rujuknya Ibnu Abbas ra. dapat dibenarkan sementara seluruh ahli fikih kota Mekkah dan ulama dari murid-muridnya meyakini kehalalan nikah mut’ah dan mengatakan bahwa itu adalah pendapat guru besar mereka?!
Tela'ah terhadap Hadis Rabi’ ibn Saburah
Adapun tentang riwayat-riwayat Rabi’ ibn saburah, Anda perlu memperhatikan poin-poin di bawah ini.
Pertama,
seperti Anda saksikan bahwa banyak atau kebanyakan dari riwayat-riwayat para muhadis Ahlusunnah tentang pengharaman nikah mut’ah adalah dari riwayat Rabii’ -putra Saburah al-Juhani- dari ayahnya; Saburah al-Juhani. Hadis-hadis riwayat Saburah al-Juhani tentang masalah ini berjumlah tujuh belas, Imam Muslim meriwayatkan dua belas darinya, Imam Ahmad meriwayatkan enam, Ibnu Majah meriwayatkan satu hadis. Dan di dalamnya terdapat banyak berbeda-beda dan ketidak akuran antara satu riwayat dengan lainnya.
Di antara kontradiksi yang ada di dalamnya ialah:
- Dalam satu riwayat ia menyebutkan bahwa yang bermut’ah dengan wanita yang ditemui adalah ayahnya, sementara dalam riwayat lain adalah temannya.
- Dalam sebuah riwayat ia menyebutkan bahwa bersama ayahnya adalah temannya dari suku bani Sulaim, sementara dalam riwayat lain adalah anak pamannya.
- Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa mahar yang diberikan kepada wanita itu adalah sehelai kain selimut, sementara dalam riwayat lainnya ia mengatakan dua selimut berwarna merah.
- Sebagian riwayatnya mengatakan bahwa wanita itu memilih ayahnya karena ketampanan dan ayahnya masih muda sementara yang lain mengatakan karena selimut ayahnya masih baru.
- Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sempat bersama wanita itu selama tiga hari sebelum akhirnya dilarang Nabi saw. sementara yang lainnya mengatakan bahwa hanya semalam, dan keesokan harinya telah dilarang.
- Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sejak hari pertama kedatangan di kota Mekkah telah keluar mencari wanita yang mau dinikahi secara mut’ah, sementara yang lainnya mengatakan bahwa itu setelah lima belas hari, setelah Nabi saw. mendapat laporan bahwa wanita-wanita di Mekkah tidak mau kecuali nikah dengan jangka waktu, kemudian Nabi saw. mengizinkan dan Saburah pun keluar mencari wanita yang mau dinikahi. Dan masih banyak pertentangan lain yang dapat disaksikan dalam riwayat-riwayat yang dikutip dari Rabi’ ibn Saburah, seperti apakah ayahnya sebelumnya telah mengetahui konsep nikah mut’ah, atau belum, ia baru tahu dan diizinkan Nabi saw. setelah wanita-wanita kota Mekkah enggan kecuali nikah dengan jangka waktu.
Kedua,
Disamping itu kita menyaksikan bahwa Saburah ayah Rabi’ -sang perawi- mendapat izin langsung dari Rasulullah saw. untuk bermut’ah, atau dalam riwayat lain Nabi-lah yang memerintah para sahabat beliau untuk bermut’ah dihari-hari penaklukan (fathu) kota Mekkah, dan setelah ia langusng merespon perintah atau izin itu, dan ia mendapatkan pada hari itu juga wanita yang ia nikahi secara mut’ah tiba-tiba keesokan harinya ketika ia salat subuh bersama Nabi saw. beliau berpidato mengharamkan nikah mut’ah yang baru saja beliau perintahkan para sahabat beliau untuk melakukannya, logiskah itu?! Dalam sekejap mata, sebuah hukum Allah SWT berubah-ubah, hari ini memerintahkan keesokan harinya mengharamkan dengan tanpa sebab yang jelas!Tidakkah para pakar kita perlu merenungkan kenyataan ini?!
Ketiga,
terbatasnya periwayatan kisah Saburah hanya pada Rabi’ putranya mengundang kecurigaan, sebab kalau benar ada pe-mansuk-han kehalalan nikah mut’ah pastilah para sahabat besar mengetahuinya, seperti tentang penghalalan yang diriwayatkan oleh para sahabat besar dan dekat.
Keempat,
riwayat Rabi’ ibn Saburah itu bertentangan dengan riwayat para sahabat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, ‘Imraan ibn Hushain, Salamah ibn al-Akwa’ dan kawan-kawan.
Dan riwayat-riwayat mereka tidak mengahadapi masalah-masalah seperti yang menghadang riwayat-riwayat Rabi’ ibn Saburah.
Catatan Penting!
Sebenarnya dalam peristiwa itu tidak ada pengharaman yang ada hanya Nabi saw. memerintah para sahabat yang bermut’ah dan jangka waktunya belum habis agar meninggalkan wanita-wanita itu sebab Rasulullah saw. bersama rombongan akan segera meninggalkan kota Mekkah. Akan tetapi para sukarelawan itu memanfaatkan hal ini dan memplesetkannya dengan menambahkan bahwa Nabi berpidato mengharamkannya. Sekali lagi, Nabi saw. hanya memerintahkan para sahabat beliau yang bermut’ah agar menghibahkan sisa waktu nikah mut’ah mereka kepada wanita-wanita itu sebab rombongan segera meninggalkan kota suci Mekkah.
Hal ini dapat Anda temukan dalam riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Ahmad dalam Musnadnya, dan al-Baihaqi dalam Sunannya, juga dari Sabrah. Dari Rabi’ ibn sabrah al-Juhani dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan kami bermut’ah, lalu aku bersama seorang berangkat menuju seeorang wanita dari suku bani ‘Amir, wanita itu muda, tinggi semampai berleher panjang, kami menawarkan diri kami, lalu ia bertanya, “Apa yang akan kalian berikan?” Aku menjawab, “Selimutku”. Dan temanku berkata, “Selimutku”. Selimut temanku itu lebih bagus dari selimutku tapi aku lebih muda darinya. Apabila wanita itu memperhatikan selimut temanku, ia tertarik, tapi ketika ia memandangku ia tertarik denganku. Lalu ia berkata, “Kamu dan selimutmu cukup buatku! Maka aku bersamanya selama tiga hari, kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di sisinya ada seorang wanita yang ia nikahi dengan mut’ah hendaknya ia biarkan ia pergi/tinggalkan”. [53]
Dalam pernyataan itu tidak ada pengharaman dari Nabi saw. Ada pun hadis Abu Dzar, adalah aneh rasanya hukum itu tidak diketahui oleh semua sahabat sepanjang masa hidup mereka sepeninggal Nabi saw. termasuk Abu Bakar dan Umar, hingga sampai dipenghujung masa kekhalifahan Umar, ia baru terbangun dari tidur panjangnya dan mengumandangkan suara pengharaman itu. Jika benar ada hadis dari Nabi saw., dimanakah hadis selama kurun waktu itu.Yang pasti para sukarelawan telah berbaik hati dengan membantu Khalifah Umar ra. jauh setelah wafat beliau dalam memproduksi hadis yang dinisbatkan kepada Nabi saw., agar kebijakan pengharaman itu tidak berbenturan dengan sunah dan ajaran Nabi saw. dan agar Khalifah Umar tampil sebagai penyegar sunah setelah sekian belas tahun terpasung.
Dan kebaikan hati sebagian ulama dan muhadis berhati luhur dengan memalsu hadis bukan hal aneh, dan saya harap anda tidak kaget. Karena memang demikian adanya di dunia hadis kita; kaum Muslim. Tidak semua para sukarelawan yang memalsu hadis orang bejat dan jahat, berniat merusak agama, tidak jarang dari mereka berhati luhur, rajin dan tekun beribadah, hanya saja mereka memiliki sebuah kegemaran memalsu hadis atas nama Rasulullah saw. Dan para sukarelawan model ini adalah paling berbahaya dan mengancam kemurnian agama, sebab kebanyakan orang akan terpesona dan kemudian tertipu dengan tampilan lahiriah yang khusu’ dan simpatik mereka. Demikian ditegaskan ulama seperti Al Nawawi dan Al Suyuthi.
Wallahu 'Alam Bishawwab
CATATAN KAKI
[1] Tafsir Khazin (Lubab al-Ta’wiil).1,506
[2] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9179, bab Nikah al-Mut’ah.
[3] Fathu al-Baari.19,200, Ktaabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
[4] Tafsir Fathu al-Qadir.1,449.
[5] Tafsir Ibnu Katsir.1,474.
[6] Ibid.
[7] Fathu al-Baari.17,146, hadis no.4615.
[8] Ibid.19,142-143, hadis no.5075.
[9] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182.
[10] Fathu al-Baari.19,206-207, hadis no.5117-5118.
[11] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182. hanya saja kata rasul (utusan) diganti dengan kata munaadi (pengumandang pengumuman).
[12] Ibdi.183.
[13] Ibid.183.
[14] Ibdi.184.
[15] Ibid.183-184.
[16] Ibid.183.
[17] Al-Sunan al-Kubra, Kitab al-Mut’ah, Bab Nikah-ul Mut’ah.7,206 dan ia mengatakan bahwa hadis ini juga diriwayatkan Muslim dari jalur lain dari Hummam.
[18] Keterangan lebih lanjut baca Fath al-Baari.19,201 203 dan Syarah al-Nawawi atas Shahih Muslim,9179-180.
[19] Tafsir Ibnu Katsir.1,484, pada tafsir ayat 24 surah al-Nisaa’.
[20] Al-Jaami’ Li Ahkaami Alqur’an.5130-131.
[21] Shahih Muslim (dengan syarah al-Nawawi), Kitab al-Nikah, bab Nikah-ul Mut’ah.9,189-190, dua hadis terakhir dalam bab tersebut, Sunan al-Nasa’i, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan al-Baihaqi, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah.7,201, Mushannaf Abdur Razzaq.7,36 dan Majma’ al-Zawaid.4,265.
[22] Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, dan bab Nahyu Rasulillah ‘an nikah al-mut’ah akhiran, bab al-hiilah fi al-nikah, Sunan Abu Daud.2,90, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan Ibnu Majah.1,630, Kitab-un Nikah, bab an-nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah, hadis no.1961, Sunan al-Turmudzi (dengan syarah al-Mubarakfuuri).4,267-268, bab Ma ja’a fi Nikah al-Mut’ah(27), hadis no.1130 Muwaththa’, bab Nikah mut’ah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.4,292 Sunan al-Darimi.2,140 bab al-Nahyu ‘an Mut’ah al-Nisa’, Musnad al-Thayalisi hadis no.111 dan Musnad Imam Ahmad.1,79,130 dan142, dan Anda dapat jumpai dalam Fathu al-Baari dalam baba-baba tersebut di atas.
[23] Baca Sunan al-Baihaqi.7,207.
[24] Shahih Muslim.9,185.
[25] Ibid.186.
[26] Ibdi.
[27] Ibid.187.
[28] Ibdi.188-189.
[29] Ibid.187.
[30] Ibid.189.
[31] Abu Daud.2,227, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah dan Sunan al-Baihaqi.7,204.
[32] Sunan al-Baihaqi.7,204.
[33] Shahih Muslim.9,184, Mushannaf.4,292, Musnad Ahmad.4,55, Sunan al-Baihaqi.7,204 dan Fath al-Baari.11,73.
[34] Baca Sunan al-Baihaqi.7,204.
[35] Seperti Anda saksikan bahwa hadis tersebut telah saya kutipkan dari empat belas sumber terpercaya.
[36] 9, 449.
[37] Syarh Nahjul Balaghah 1, 371-372.
[38] Ash-Shirath al-Mustaqim.3,245.
[39] Fathu al-Baari.19,202 menukil pernyataan al-Baihaqi.
[40] Zaad al-Ma’aad.2,204, pasal Fi Ibaahati Mut’ati al-Nisaa’i tsumma Tahriimuha (tentang dibolehkannya nikah mut’ah kemudian pengharamannya). Dan keterangan panjang Ibnu qayyim juga dimuat Ibnu Hajar.
[41] Fath al-Baari.16,62. hadis no.4216.
[42] Ibid.19,202.
[43] Ibid.201.
[44] Ibdi.202.
[45] Ibid.
[46] Bukhari Bab Ghazwah Khaibar, hadis no.4216, Kitab al-Dzabaaih, bab Luhuum al-Humur al-Insiyyah, hadis no.5523, Shahih Muslim, bab Ma Ja’a Fi Nikahi al-Mut’ah (dengan syarah a-Nawawi).9,190, Sunan Ibnu Majah.1, bab al-Nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah (44) hadis no1961 dan Sunan Al-Baihaqi.7,201, dan meriwayatkan hadis serupa dari Ibnu Umar. Dan di sini sebagian ulama melakukan penipuan terhadap diri sendiri dengn mengatakan bahwa sebenarnya dalam hadis itu ada pemajuan dan pemunduran, maksudnya semestinya yang disebut duluan adalah Luhum Humur insiyah bukan Mut’ah al-Nisaa’. (Fath al-baari.16,62) Mengapa? Sekali lagi agar riwayat Bukhari dkk. di atas tetap terjaga wibawanya dan agar tidak tampak bertentang dengan kenyataan sejarah.
[47] Ucapan pengharaman ini begitu masyhur dari Umar dan dinukil banyak ulama dalam buku-buku mereka, di antaranya: Tafsir al-Razi.10,50, Al-Jashshash. Ahkam Alqur’an.2,152, Al-Qurthubi. Jami’ Ahkam Alqur’an.2,270, Ibnu Qayyim. Zaad al-Ma’ad.1,444 dan ia megatakan” dan telah tetap dari Umar…, Ibnu Abi al-Hadid. Syarh Nahj al-Balaghah.1,182 dan 12,251 dan 252, Al-Sarakhsi al-Hanafi. Al-Mabsuuth, kitab al-Haj, bab Alqur’an dan ia mensahihkannya, Ibnu Qudamah. Al-Mughni.7,527, Ibnu Hazam. Al-Muhalla.7,107, Al-Muttaqi al-Hindi. Kanz al-Ummal.8,293 dan294, al-Thahawi. Syarh Ma’ani al-Akhbaar.374 dan Sunan al-Baihaqi.7,206.
[48] Ibid.183.
[49] Ibid.183-184.
[50] Mafaatiih al-Ghaib (tafsir al-Razi).10,51
[51] Kanz al-Ummal.8,294.
[52] Dan dalam sebagian riwayat إلاَّ Ø´ÙÙŠ dengan huruf faa’ sebagai ganti huruf qaaf, dan artinay ialah jarang/sedikit sekali. Pernyataan Ibnu Abbas diriwayatkan banyak ulama, seperti Ibnu al-Atsir dalam Nihayahnya, kata kerja syafa.
[53] Shahih Muslim.9,184-185, Sunan al-Baihaqi.7,202, dan Musnad Ahmad.3,405.
Sayyid Husain Al Musawi, seorang tokoh Syi’ah murid Ayatullah Ruhullah Al Khumaini yang kemudian bertaubat dan masuk ke Sunni. Ia menceritakan dalam kitab Lillahi Tsumma Lil Tarikh:
Kisah Pertama
Seorang perempuan datang kepada saya menanyakan tentang peristiwa yang terjadi terhadap dirinya. Dia menceritakan bahwa seorang tokoh, yaitu Sayyid Husain Shadr pernah nikah mut’ah dengannya dua puluh tahun yang lalu, lalu dia hamil dari pernikahan tersebut.
“Setelah puas, dia menceraikan saya. Setelah berlalu beberapa waktu saya dikarunia seorang anak perempuan. Dia bersumpah bahwa dia hamil dari hasil hubungannya dengan Sayyid Shadr, karena pada saat itu tidak ada yang nikah mut’ah dengannya kecuali Sayyid Shadr.”
“Setelah anak perempuan saya dewasa, dia menjadi seorang gadis yang cantik dan siap untuk nikah.”
Namun sang ibu mendapati bahwa anaknya itu telah hamil. Ketika ditanyakan tentang kehamilannya, dia mengabarkan bahwa Sayyid Shadr telah melakukan mut’ah dengannya dan dia hamil akibat mut’ah tersebut. Sang ibu tercengang dan hilang kendali dirinya lalu mengabarkan kepada anaknya bahwa Sayyid Shadr adalah ayahnya. Lalu dia menceritakan selengkapnya mengenai pernikahannya (ibu si wanita) dengan Sayyid Shadr dan bagaimana bisa hari ini Sayyid Shadr menikah dengan anaknya dan anak Sayyid Shadr juga?!
Kemudian dia datang kepadaku menjelaskan tentang sikap tokoh tersebut terhadap dirinya dan anak yang lahir darinya. Sesungguhnya kejadian seperti ini sering terjadi. Salah seorang dari mereka melakukan mut’ah dengan seorang gadis, yang di kemudian hari diketahui bahwa dia itu adalah saudarinya dari hasil nikah mut’ah. Sebagaimana mereka juga ada yang melakukan nikah mut’ah dengan istri bapaknya.
Di Iran, kejadian seperti ini tak terhitung jumlahnya. Kami membandingkan kejadian ini dengan firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah mampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur:33)
Kalaulah mut’ah dihalalkan, niscaya Allah tidak akan memerintahkan untuk menjaga kesucian dan menunggu sampai tiba waktu dimudahkan baginya untuk urusan pernikahan, tetapi Dia akan menganjurkan untuk melakukan mut’ah demi memenuhi kebutuhan biologisnya daripada terus-menerus diliputi dan dibakar oleh api syahwat.
Kisah Kedua
Suatu waktu saya duduk bersama Imam Al Khaui di kantornya. Tiba-tiba masuk dua orang laki-laki menemui kami, mereka memperdebatkan suatu masalah. Keduanya bersepakat untuk menanyakannya kepada Imam Al Khaui untuk mendapatkan jawaban darinya.
Salah seorang di antara mereka bertanya, “Wahai Sayyid, apa pendapatmu tentang mut’ah, apakah ia halal atau haram?”
Imam Al Khaui melihat lagaknya, ia menangkap sesuatu dari pertanyaannya, kemudian dia berkata kepadanya, “Dimana kamu tinggal?”
Maka dia menjawab, “Saya tinggal di Mosul, kemudian tinggal di Najaf semenjak sebulan yang lalu.”
Imam berkata kepadanya, “Kalau demikian berarti Anda adalah seorang Sunni?”
Pemuda itu menjawab, “Ya!”
Imam berkata, “Mut’ah menurut kami adalah halal, tetapi haram menurut kalian.”
Maka pemuda itu berkata kepadanya, “Saya di sini semenjak dua bulan yang lalu merasa kesepian, maka nikahkanlah saya dengan anak perempuanmu dengan cara mut’ah sebelum saya kembali kepada keluargaku.”
Maka sang imam membelalakkan matanya sejenak, kemudian berkata kepadanya, “Saya adalah pembesar, dan hal itu haram atas para pembesar, namun halal bagi kalangan awam dari orang-orang Syiah.”
Si pemuda menatap Al Khaui sambil tersenyum. Pandangannya mengisyaratkan akan pengetahuannya bahwa Al Khaui sedang mengamalkan taqiyah (berbohong untuk membela diri).
Kedua pemuda itu pun berdiri dan pergi. Saya meminta izin kepada Imam Al Khaui untuk keluar. Saya menyusul kedua pemuda tadi. Saya mengetahu bahwa penanya adalah seorang Sunni dan sahabatnya adalah seorang Syi’i (pengikut Syiah). Keduanya berselisih pendapat tentang nikah mut’ah, apakah ia halal atau haram? Keduanya bersepakat untuk menanyakan kepada rujukan agama, yaitu Imam Al Khaui.
Ketika saya berbicara dengan kedua pemuda tadi, pemuda yang berpaham Syiah berontak sambil mengatakan, “Wahai orang-orang durhaka, kamu sekalian membolehkan nikah mut’ah kepada anak-anak perempuan kami, dan mengabarkan bahwa hal itu halal, dan dengan itu kalian mendekatkan diri kepada Allah, namun kalian mengharamkan kami untuk nikah mut’ah dengan anak-anak perempuan kalian?”
Maka dia mulai memaki dan mencaci serta bersumpah untuk pindah kepada madzhab Ahlus Sunnah, maka saya pun mulai menenangkannya, kemudian saya bersumpah bahwa nikah mut’ah itu haram, kemudian saya menjelaskan tentang dalil-dalilnya.
Sumber kisah: http://www.fimadani.com/kisah-nikah-mutah-penganut-syiah/
– See more at: http://afifulikhwan.blogspot.com/2013/10/alasan-syiah-halal-nikah-mutah.html#sthash.uPJy3HJm.dpuf